Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk
tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan
umat (ri’ayatu syuunil ummah), dalam dan luar negeri. Pelaksana
praktisnya adalah daulah (negara). Sedangkan umat melakukan muhasabah
(kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah (khalifah). Politik dalam
negeri dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan
melaksanakan mabda (aqidah dan peraturan-peraturan) Islam di dalam
negeri. Politik luar negeri dilakukan daulah untuk memelihara urusan
umat di luar negeri dengan menjalin hubungan internasional dan
menyebarkan mabda Islam ke seluruh dunia (lihat Mafahim Siyasiyah
lihizbi Tahrir, An Nabhani hal. 1).
Umat Islam wajib menyibukkan
diri dalam menggeluti masalah-masalah politik internasional maupun
regional sehingga paham akan fakta politik yang sedang terjadi dan mampu
mengambil sikap berdasarkan mabda Islam, untuk memelihara kepentingan
umat dan daulah baik di dalam maupun di luar negeri. Rasulullah saw
bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan
urusan (kepentingan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan
mereka (kaum muslimin)”
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan hadits dari
Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy di Mekkah
mendebat kaum muslimin dalam konfrontasi mereka dengan mengemukakan
kasus kekalahan Rum (ahli Kitab) atas Persia (Majusi musyrik). Mereka
mengatakan, “Kalian mengklaim bahwa kalian akan mengalahkan kami dengan
kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Mengapa orang-orang Majusi
mengalahkan orang-orang Rum padahal orang Rum itu ahli kitab. Jadi kami
akan mengalahkan kalian sebagaimana Persia mengalahkan Romawi.” Lalu
Allah menurunkan ayat: “Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di
negeri yang terdekat. Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang
dalam beberapa tahun lagi…” (QS. Ar Rum 1-4). Hal ini menunjukkan bahwa
kaum muslimin di Mekkah selalu terlibat dalam “perang urat syaraf”
dengan kaum kafir Quraisy dalam membahas perkembangan hubungan
internasional.
Dalam menggeluti politik dalam negeri, kaum
muslimin wajib selalu memperhatikan pelaksanaan pemerintahan kaum
muslimin dan meluruskannya jika terjadi penyimpangan. Dalam suatu hadits
Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang melihat penguasa yang zhalim
dengan menghalalkan apa yang diharamkan Allah, mengingkari janji Allah,
menyalahi sunnah Rasul, memperkosa hak-hak hamba Allah, lalu tidak
mengubahnya dengan perkataan ataupun perbuatan, maka pasti Allah akan
menempatkannya di tempat penguasa zhalim itu (di akhirat)” (HR. Ibnu
Katsir, lihat, Abdul Aziz Al Badri, Ulama dan Penguasa, hal 45).
Islam
mewajibkan berdirinya partai politik yang berjuang untuk Islam dengan
tugas menyebarkan dakwah Islam kepada orang-orang kafir di seluruh dunia
dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, termasuk kepada penguasa.
Firman Allah SWT.:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada al khair (dinul Islam) menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar” (QS. Ali Imran 104).
Berbeda
dengan sistem demokrasi, khususnya demokrasi liberal, dalam Islam tak
ada parpol pemerintah (penguasa) dan parpol oposisi. Dalam Islam,
kekuasaan itu terletak di satu tangan, yaitu kepala negara atau
khalifah. Khalifah, sebagai penguasa tunggal, berhak mengangkat
perangkat negara untuk menjalankan pemerintahan. Jadi dalam Islam, para
politikus yang aktif dalam partai politik tidak berarti terlibat dalam
kekuasaan (walau ini bisa menjadi tangga menuju jenjang kekuasaan
apabila dipilih menjadi khalifah atau diangkat menjadi pejabat). Namun
para politikus punya tugas besar bersama partainya, yaitu amar ma’ruf
nahi mungkar termasuk muhasabah kepada penguasa agar urusan kepentingan
umat tetap terpelihara.
Muhasabah Kepada Penguasa
Dalam
Islam penguasa (khalifah) bukanlah orang yang istimewa, tapi pelayan
umat yang melaksanakan hukum dan memberi peringatan. Umat berkewajiban
melakukan muhasabah kepada penguasa, apabila dia menyimpang dari
ketentuan syari’at Islam (Abdul Aziz Al Badri, Ulama dan Penguasa, hal.
45).
Setelah dibai’at menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq ra. berpidato:
“Hai
saudara-saudara! Kalian telah membai’at saya sebagai khalifah.
Sesungguhnya saya tidaklah lebih baik dari kalian. Oleh karenanya, bila
saya berbuat baik, tolonglah dan bantulah saya dalam kebaikan itu.
Tetapi bila saya berbuat salah, tegurlah saya. Taatlah kalian kepada
saya selama saya taat kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kalian
mentaati saya bila saya berbuat maksiat terhadap Allah dan RasulNya.”
Khalifah
Umar ra. pernah ditegur oleh seorang wanita tatkala beliau membatasi
pemberian mahar atau mas kawin. Wanita itu membacakan firman Allah:»”Dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedangkan
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun” (QS. An Nisaa:
20). Mendengar teguran itu, Umar berkata: “Benarlah wanita itu dan
sayalah yang keliru”.
Suatu hari tatkala khalifah Muawiyah memulai
pidatonya, Abu Muslim Al Khaulani, berdiri dan mengatakan tidak mau
mendengar dan mentaati khalifah. Ketika ditanya alasannya ia menjawab,
“Karena engkau (khalifah) telah berani memutuskan bantuan kepada kaum
muslimin dari baitul mal. Padahal harta itu bukan hasil keringat- mu dan
bukan harta ayah ibumu”. Mendengar itu Muawiyah sangat marah, lalu
turun mimbar, pergi, dan sejenak kemudian kembali dengan wajah yang
masih basah. Ia membenarkan perkataan Abu Muslim dan mempersilakan siapa
saja yang merasa dirugikan mengambil bantuan dari baitul mal.
Masih
banyak cerita tentang muhasabah yang dilakukan ulama kepada penguasa di
masa khilafah Islamiyah dengan berbagai resiko yang mereka hadapi.
Namun, berbeda dengan sistem demokrasi, muhasabah yang dilakukan ulama
kepada penguasa bukan untuk menjungkirkan pemerintahan khalifah atau
menurunkan reputasinya. Dalam Islam tidak dikenal mosi tidak percaya
kepada khalifah, sehingga khalifah harus mundur. Oleh karena itu,
Muawiyah membiarkan siapa saja yang berkata apa saja tentang dirinya
selama tidak mengganggu pemerintahannya. Bahkan Abu Dzar Al Ghifari
mencela delegasi dari Kufah yang mengajaknya memberontak kepada khalifah
Utsman dengan mengatakan kalaupun Utsman menyalibnya, dia akan tetap
mendengar dan taat kepada khalifah. Hanya satu kondisi umat boleh
mengangkat senjata terhadap khalifah yaitu bila terjadi kekufuran yang
nyata (lihat Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukm fil Islam, hal 244).
Tugas dan Tanggung jawab Ulama Hari Ini
Ulama punya tanggung jawab yang besar terhadap umat disamping tugas mulianya, muhasabah terhadap penguasa, yaitu:
Pertama,
ulama harus membangun kesadaran politik umat (wa’ie siyasi), yaitu
kesadaran umat tentang cara pemeliharaan urusannya. Untuk itu, umat
harus memiliki unsur penting.yakni berprinsip memecahkan permasalahannya
dengan ide atau mabda yang dimilikinya. Sebagai muslim kita memahami
persoalan, dan kita menyelesaikannya dengan Islam yang menjelaskan
pemecahan segala permasalahan manusia (QS. An Nahl 89) dengan metode
yang dicontohkan Nabi saw. (QS. Al Ahzab: 21). Kesadaran seperti itulah
yang harus dibangun ulama. Kalau tidak, kasadaran politik umat akan
dibangun oleh orang lain yang pada gilirannya justru akan menyulitkan
umat itu sendiri.
Kedua, ulama harus menggalakkan
pengajian-pengajian fiqh, tidak hanya sekitar thaharah, shalat, shaum,
dan haji, tapi juga fiqh yang menjelaskan permasalahan politik,
kenegaraan, perundang-undangan, hukum-hukum pidana dan perdata, hubungan
internasional, ekonomi, sosial, dan pendidikan dengan merujuk kepada
induk kitab-kitab fiqih yang mu’tabarah. Sehingga pandangan umat
terhadap agamanya sendiri semakin jelas dan umat pun tidak salah paham
terhadap fiqih Islam ( lihat An Nabhaani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah,
Juz II/7). Sehingga setiap tabligh tidak hanya diisi dengan pesan-pesan
moral yang menjenuhkan atau bahkan diisi dengan humor dan kata-kata
yang tidak pantas untuk dikatakan hanya untuk menghindari kejenuhan
jamaah. Wajib diingat para ulama bahwa Islam bukanlah tontonan, tapi
tuntunan.
Ketiga, hendaknya ulama tidak hanya “bersembunyi” di
dalam pesantren dan berkutat dengan kitab kuning yang dikarang ulama di
zaman kemunduran Islam, disamping sesekali mengisi ceramah pada hari
besar Islam. Namun, selain mengkaji kitab-kitab fiqih Islam — terutama
kitab-kitab induk yang dikarang para ulama besar di masa kejayaan Islam —
dan selalu berusaha mengaktualisasikannya, ulama harus memanfaatkan
segala sarana dan kesempatan yang dimiliki untuk menjelaskan kepada
umat, para pejabat, konglomerat, intelektual, ekonom, dan politikus
pandangan Islam tentang berbagai persoalan yang sedang berkembang.
Dengan demikian peran ulama yang diharapkan Basofi Sudirman untuk
membekali seluruh lapisan masyarakat –termasuk politisi — dengan
kekuatan iman (Republika, 4/7/’94) akan bisa terwujud. Disamping itu,
umat tidak akan mudah terkecoh oleh arus globalisasi yang mengatas
namakan modernisasi, demokrasi, kebebasan, dan hak asasi.
Itulah
tugas dan tanggung jawab yang harus diemban para ulama waratsatul anbiya
hari ini. Tugas berat beresiko besar. Namun menjanjikan pahala besar.
Masyarakat akan diselamatkan dari kehancurannya dan akan menuju
masyarakat yang sehat dunia akhirat. Sebaliknya, jika ulama tidak
memikul beban tugasnya, atau bahkan ikut berpesta pora dengan kekuasaan
yang berlumur kebatilan, kerusakan dan kehancuran masyarakat takkan
terelakkan. Rasulullah saw. bersabda: “Dua macam golongan manusia yang
apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tapi apabila
keduanya rusak, maka akan rusaklah masyarakat. Kedua golongan itu adalah
ulama dan penguasa ” (HR. Abu Nu’aim).
Partai Politik Dalam Islam
Secara
umum pengertian “partai” adalah sekumpulan orang yang terikat satu sama
lain oleh sebuah ideologi dan aturan tertentu untuk meraih
tujuan-tujuan tertentu yang akan dicapainya. Artinya, ideologi yang
mendasari keberadaan dan gerak serta peran partai itulah yang akan
menentukan jenis dan warna partai tersebut dalam sebuah masyarakat.
Karenanya, ketika berbincang tentang partai politik Islam maka partai
tersebut berarti menjadikan Islam sebagai landasan pembangun dan
landasan gerak langkah serta landasan penentuan tujuan-tujuannya.
Adapun
pengertian politik menurut Islam adalah pengaturan urusan/kepentingan
rakyat di dalam dan di luar negeri. Secara praktis, pelaku sistem
politik Islam adalah negara sedangkan aktivitas politik negara di dalam
negeri adalah upaya penerapan hukum-hukum Islam atas seluruh warga
negara. Sedangkan aktivitas politik luar negeri adalah upaya penyebaran
Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam melaksanakan aktivitas politik
penguasa mendapat pengawasan dari seluruh rakyat; baik sebagai individu
maupun dalam wujud sebuah kelompok atau partai.
Islam sebagai
sebuah pandangan hidup yang menyeluruh telah mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia; baik sebagai pribadi, keluarga, jamaah (kelompok) dan
masyarakat. Peran dan posisi bagian masyarakat dalam Islam telah
ditentukan dengan rinci dan tegas. Termasuk dalam hal ini keberadaan
partai politik.
Dengan memahami seluruh pengertian tadi, maka
partai politik Islam merupakan partai yang melaksanakan berbagai tugas
yang dibebankan Islam kepada mereka. Tugas tersebut adalah tugas amar
ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi/meluruskan tingkah laku pemerintah dan
aparatnya. Dengan kata lain, pengertian partai politik dalam konteks
kehidupan Islam adalah sekumpulan orang yang membentuk suatu kelompok
atau jamaah (partai) yang berdiri atas dasar ideologi Islam dengan
aktivitas dakwah kepada al khoir (Islam) dan aktivitas amar ma’ruf nahi
munkar. Keberadaan dan peran partai politik itu sendiri beserta tugasnya
bertolak dari seruan Allah SWT:
“(Dan) Hendaklah ada diantara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih
kebaikan, yaitu memeluk Islam) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (yang akan masuk
surga).” (QS. Ali Imran:104).
Syekh An-Nabhaniy dalam kitab
Muqaddimmah Dustur memberikan penjelasan tentang ayat di atas bahwa
Allah SWT sungguh telah memerintahkan kaum muslimin untuk membentuk
kelompok/jamaah/ partai yang melakukan tugas untuk mengemban dakwah
kepada al khair (Al-Islam) serta melakukan aktivias amar ma’ruf nahi
munkar.
Kata umat pada ayat di atas adalah bermakna untuk jamaah
yang khusus (tertentu) bukan jamaah secara umum. Manusia atau kaum
muslimin sendiri sudah berarti sebuah jamaah. Kata “Umat” pada ayat
tersebut lebih khusus dari jama’ah (umat Islam sebagai jamaah). Ia
merupakan jama’ah yang terbentuk dari individu-individu yang memiliki
ikatan yang menyatukan mereka, dimana dengan ikatan tersebut mereka
menjadi sebuah kelompok yang bersatu dan sebagai satu kesatuan, dan
mereka tetap seperti itu. (Lihat An-Nabahaniy dalam Muqaddimmah Dustur
hal: 98 ).
Adapun dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, maka harus
dipahami bahwa perintah ini bersifat umum, yaitu beramar ma’ruf nahi
munkar kepada semua golongan manusia. Hanya saja, beramar ma’ruf nahi
munkar kepada para penguasa merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang
sangat diutamakan dibanding kepada yang lainnya. Karena selain
pemerintah merupakan pelaksana praktis kebijakan politik dalam negeri
dan luar negeri, namun pemerintah juga sangat menentukan segala hal yang
berlaku di masyarakat. Karenanya, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar dan
mengoreksi (muhasabah) kepada penguasa merupakan aktivitas yang lebih
utama dibanding aktivitas amar ma’ruf kepada yang lainnya. Harus juga
dipahami, karena aktivitas pemerintah adalah aktivitas politik, maka
jamaah/partai yang akan menasehati dan mengoreksi pemerintah haruslah
memahami dan senantiasa bergelut dengan aktivitas politik. Di sinilah
posisi dan peran pokok sebuah partai politik Islam.
Pengertian ini
juga dipakai oleh Muhammad Abduh dalam tafsirnya Al-Manar mengenai QS
Ali Imran: 104. Beliau menyatakan dalam tafsirnya tentang ayat ini
sebagai berikut: “Dan yang diseru dengan perintah ini adalah jamaah
orang-orang mukmin secara keseluruhan. Mereka adalah orang-orang yang
terbebani kewajiban untuk memilih umat yang akan melakukan kewajiban
ini. Di sini ada dua hal, salah satunya wajib bagi semua kaum muslimin.
Yang kedua bagi umat (kelompok) yang mereka pilih untuk berdakwah. Makna
ini tidak bisa dipahami dengan tepat kecuali dengan memahami kata umat.
Makna umat tersebut bukan jama’ah sebagaimana yang banyak disangka
orang. Umat tersebut adalah lebih khusus ketimbang jama’ah. Maka umat
dalam hal ini merupakan jama’ah yang khusus dibentuk dari
individu-individu yang mereka memiliki hubungan yang dapat menyatukan
mereka dan merupakan kesatuan yang menyatukan mereka sebagai anggota
dalam sebuah bangunan manusia.” (Lihat Haditsushiyaam, hal; 10-13).
Sedang
Abdul Qaddim Zallum dalam kitab Ta’rif mengomentari bahwa bentuk
perintah untuk membentuk jama’ah terpadu (partai politik) dalam ayat di
atas memang sekedar menunjukkan adanya thalab/ajakan (dari Allah). Namun
demikian, terdapat banyak qarinah (indikasi) lain yang menunjukkan
bahwa ajakan tersebut adalah suatu keharusan (wajib). Sehingga kegiatan
yang telah ditentukan oleh ayat tadi dilaksanakan oleh kelompok terpadu
tersebut, yakni dakwah kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya
wajib atas seluruh kaum muslimin. Salah satu qarinah tersebut adalah
hadist Rosulullah SAW:
“Demi Dzat yang diriku berada di tanganNya,
sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu) melakukan amar ma’ruf dan
nahi munkar, ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisiNya yang
akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdo’a, maka (do’a
itu) tidak akan dikabulkan.” (Sunan Tirmidzi No.2259).
Jelaslah bagi kita tentang wajibnya keberadaan partai politik yang bekerja untuk Islam, yaitu dengan syarat:
1.
Partai itu harus dari kalangan (beranggotakan) kaum muslimin saja.
Dipahami dari lafadz (minkum) yaitu sebagian dari kalian (kaum muslimin)
pada ayat tadi.
2. Partai Islam haruslah menjadikan aqidah Islam
sebagai dasar keberadaannya dan menjadikan syariat Islam sebagai pangkal
tolak dari hukum yang dijadikan pegangannnya.
3. Partai itu
beraktivitas mengajak kepada kebaikan. (yad’una ilal Khair). Dalam
tafsir Jalalain “mengajak kepada al khoir” berarti mengajak kepada dinul
Islam.
4. Partai ini harus beraktivitas menyeru kepada yang
ma’ruf (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah
pelanggaran terhadap syariat). Bahkan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar
inilah bagian terpenting dari keberadaan partai politik tersebut dalam
masyarakat Islam, yaitu mengawasi para penguasa (‘muhasabah lil Hukam’)
serta menyampaikan nasehat kepadanya apabila dalam aktivitas
pemerintahannya terdapat penyimpangan dan penyelewengan terhadap syariat
Islam (misalnya bersikap zhalim, fasik dan lain-lain). Dan semua ini
merupakan kegiatan politik bahkan bagian yang teramat penting dan
menjadi ciri utama dari kegiatan partai-partai politik dalam Islam.
Wajib Mengoreksi Penguasa
Secara
lebih khusus, partai politik dalam masyarakat Islam didirikan oleh kaum
muslimin sebagai perwujudan hak mereka dengan tujuan utama mengoreksi
para penguasa dan juga sebagai sarana untuk mendidik umat sehingga mampu
menjadi penguasa (Lihat An-Nabhaniy, Muqaddimah Dustur). Dengan
demikian aktivitas mengoreksi penguasa dan menasehatinya adalah
aktivitas yang vital bagi sebuah partai politik. Bahkan dalam hal ini
Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan muhasabah
kepada penguasa, yaitu sewaktu penguasa telah mengingkari
kewajiban-kewajiban mereka kepada rakyat dalam hal pemeliharaan urusan
rakyat, seperti jaminan kebutuhan dasar, jaminan sosial, dan sebagainya.
Atau sewaktu penguasa mengambil hak-hak rakyat seperti hak rakyat dari
harta pemilikan umum — barang tambang, laut dan sebaginya — dan apabila
penguasa mulai menyimpang dari hukum-hukum syara sewaktu menjalankan
roda pemerintahan (Nizhomul hukmi fil Islam, An-Nabhaniy, hal. 241).
Kewajiban muhasabah kepada penguasa ini demikian jelas dikarenakan
sekian ayat (QS : Ali Imran : 104, At-Taubah: 71, Al-Anfaal : 25) dan
sekian hadits telah memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar. Bahkan aktivitas ini dihubungkan dengan kadar
keimanan seseorang sebagaimana sabda Rasululllah Saw. :
“Barang
siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran didepan matanya maka
rubahlah dengan tangan nya (kekuasaan). Apabila dia tidak mampu maka
rubahlah dengan lisannya. Apabila dia tidak mampu juga maka rubahlah
dengan hatinya (mengingkari perbuatan tersebut/tidak ridlo dengan
perbuatan itu). Dan yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.”
(Al-Hadist).
Pendirian partai politik dalam masyarakat Islam juga
tidak memerlukan izin. Hal ini dikarenakan umat memahami bahwa
keberadaan partai politik adalah fardhu bagi mereka dan tidak dibatasi
jumlahnya mengingat lafadznya adalah (ummah) yang berarti tidak harus
satu, dua atau hanya tiga saja. Melainkan boleh lebih dari satu. Ini
diperjelas dengan balasan bagi orang-orang yang menggabungkan dirinya
atau membentuk partai politik dengan sebutan “Merekalah orang-orang yang
beruntung”. Ini berarti jamak atau lebih dari satu partai. Hanya saja
seperti yang sudah dijelaskan, hanya partai politik yang bekerja untuk
Islamlah yang dibolehkan berdiri dalam masyarakat Islam. Sedang yang
berdiri dengan aktivitas bukan untuk Islam semisal untuk mengembangkan
paham Komunisme-kapitalisme-fasisme-demokrasi dan rasialisme sudah
barang tentu tidak diperkenankan ada.
Demikianlah uraian ringkas
tentang fakta posisi dan peran partai politik dalam Islam yang
keberadaannya merupakan bagian yang tidak kalah penting dari umat itu
sendiri. Maka aktivitas partai politik (muhasabah lil hukam) bagi kaum
muslimin dimasa kajayaannya sudah merupakan tradisi demi kelangsungan
hidup Islam itu sendiri. Apabila dalam kondisi saat ini kebiasaan dan
tradisi itu hilang tidak lain karena umat belum menyadari pentingnya
semua itu. Insya Allah dengan meningkatnya pemahaman dan kesadaran umat
terhadap ajaran-ajaran Islam, akan mendorong umat untuk bentindak sesuai
dengan aturan syariah termasuk dalam membentuk suatu partai, kelompok
maupun yang lainnya.
Created By : Abdul Hafidz AR
Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP UR
Berdomisili di Pekanbaru
kritik dan saran bisa disampaikan ke :
bmalay48@yahoo.com
Pages
Blog Archive
Translate
Popular Posts
-
Nama Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka kembali mencuat, kali ini karena tersiar kabar kejelasan kematiannya karena ditembak mati di Desa Selo ...
-
Sejarah bangsa Indonesia merupakan sejarah gerakan anak-anak muda. Mulai dari dicetuskannya Sumpah Pemuda yang mampu membuat perlawanan d...
-
Pemerintah tetap berkeras hati untuk melaksanakan Ujian Nasional, meski penolakan Ujian Nasional telah dikumandangkan oleh berbagai pihak....
-
Bagaimana Lembaga itu Terbentuk --Para pemimpin Koalisi 17 Februari, gerakan oposisi berbasis di Benghazi terbentuk ketika timbul pemberonta...
-
Sebelum membahas pengertian advokasi yang berlaku secara umum dan advokasi menurut IRM, maka ada baiknya kita mengurai dulu keterkaitan an...
-
Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon D...
-
Perkembangan pemikiran Islam berjalan sesuai dengan perkembangan sejarah manusia muslim. Berbagai masalah timbul dan terjadi membutuhkan...
-
Lemahnya Indonesia yang "kaya" akan kekayaan alamnya menjadi "mandul" tak bisa apa-apa, ini semua dimulai dan diawali ...
-
KETIKA dunia kerja tidak lagi hanya menuntut kemampuan intelektual tapi juga profesionalitas yang dibuktikan dengan pengalaman, maka sebag...
-
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan uma...
About Me
- Abd. Hafidz AR
- Pekanbaru, Riau, Indonesia
- Menteri Kebudayaan dan Kreativitas Mahasiswa BEM UNRI Ketua Bidang Advokasi PW IPM Riau Student In International Relational Riau University
Followers
Blogger news
Blogroll
Blogger templates
Saturday 29 June 2013
Konsep Politik dalam Islam
Posted by Abd. Hafidz AR at 19:08 1 comments
Biografi Hidayat Nurwahid
Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan
dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa
Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa
Tengah. Hidayat Nur Wahid berasal dari keluarga pemuka agama. Kakeknya
dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya
H. Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul Ulama, juga merupakan
pengurus Muhammadiyah. Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah aktivis
Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah.
Hidayat Nur
Wahid adalah sulung dari tujuh bersaudara. Nama Hidayat Nur Wahid
sendiri adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak sulung ini
kelak menjadi petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya bersyukur karena
menilai Hidayat Nur Wahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi
adik-adiknya. Lebih dari itu, Hidayat Nur Wahid bahkan kini menjadi
pelopor hidup sederhana di kalangan pejabat di Indonesia.
Keluarga
Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda
alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang
mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya
menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri
berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Usai
lulus Sekolah Dasar, Hidayat Nur Wahid melanjutkan pendidikan ke Pondok
Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebagaimana
diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir bebas selain
berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.” Semboyan ini
tampak pada kehidupan Hidayat Nur Wahid hingga beranjak dewasa sampai
kini yang menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika moral dalam
berpolitik dan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum masuk
Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengenyam pendidikan
di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan
oleh salah seorang alumni Gontor. Menurut Hidayat, apa yang tidak ia
dapatkan di Gontor, justru ia dapatkan di Ngabar.
Di Pondok Modern
Gontor, Hidayat Nur Wahid termasuk siswa yang cerdas dan menonjol. Ia
duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi. Di
kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama atau kedua. Menurut
Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian menjadi rekannya di
Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat
Nur Wahid adalah satu-satunya dari 132 santri pada 1978 yang
mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes.
Kecerdasan Hidayat Nur
Wahid memang telah tampak ketika masih kanak-kanak. Di SD Kebon Dalem
Kidul, ia selalu mendapat predikat juara. Sebagai anak guru, Hidayat
mendapatkan pendidikan yang baik. ia sudah bisa membaca sebelum masuk
sekolah. Hidayat kecil juga gemar membaca. Selain komik Ko Ping Ho
kegemarannya, ia juga membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya
dan keluarga. Kebiasaan dari kecil itu masih berlanjut sampai sekarang.
Kini di ruang perpustakaannya, ada lebih dari lima lemari besar penuh
buku, baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.
Selama
menempuh pendidikan di Gontor, Hidayat Nur Wahid mengikuti banyak
kegiatan. Selain kursus bahasa Arab dan Inggris, Hidayat juga mengikuti
kajian sastra, hingga kursus menjahit. Hidayat Nur Wahid juga diangkat
menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika
duduk di kelas V Pondok Gontor. Hidayat Nur Wahid tercatat pula sebagai
anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).
Selepas dari Gontor tahun
1978, Hidayat Nur Wahid sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada jasa
seorang mantri di PKU Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat bagi
masyarakat sekitarnya. Namun akhirnya ia mendaftar di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus ini Hidayat Nur Wahid
sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setahun
kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas Islam
Madinah dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu menjabat
sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat Nur
Wahid pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan
Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Hidayat
Nur Wahid menyelesaikan program S-1 dengan predikat cumlaude pada tahun
1983 dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahud min Islam al-Ansar. Selesai
S-1, awalnya ia tidak berpikir untuk melanjutkan S-2, hingga ia
mendapatkan kabar bahwa namanya tercantum dalam nominasi untuk mengikuti
ujian S-2. Pada hari terakhir ujian itulah Hidayat mengikuti tes dan
akhirnya lulus. Hidayat menamatkan program S-2 pada tahun 1987, dengan
tesis berjudul al-Batiniyyun fî Indonesia, Ard wa Dirasah.
Selepas
S-2 sebetulnya Hidayat Nur Wahid sudah ingin kembali ke tanah air,
namun kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan
salah seorang dosennya. Pada 1992, Hidayat Nur Wahid menamatkan studi
S-3 dengan judul disertasi Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq
wa Dirasah.
Melihat seluruh riwayat pendidikan akademisnya,
kecuali SDN Kebon Dalem Kidul, tampak Hidayat Nur Wahid tercermin
sebagai seorang ahli dalam agama Islam.
Setelah ditinggal oleh
istrinya, Kastrian Indriawati yang wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat
Nur Wahid menikah lagi melalui proses ta’aruf, dengan Diana Abbas
Thalib, seorang dokter dan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda
Aliyah, Pondok Indah, Jakarta.
Aktivitas Sosial dan Politik
Sebagai
bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat memandang Islam sebagai sebuah
konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi.
Paradigma keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui
keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
Gerakan
Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada
era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan
Islam di Timur tengah, terutama al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut sejumlah
studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut
Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan
Universitas Gajah Mada.
Aktivis gerakan ini secara khusyu’
mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid
Qutb, Hassan al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah
cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada
Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air.
Gerakan ini mendapat kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur
Tengah mulai tahun 1988, seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff
al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim.
Gerakan
Tarbiyah inilah yang pada 1998 melahirkan organisasi kemahasiswaan
ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI),
dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai Keadilan (PK).
Selepas
pulang ke tanah air setelah merampungkan program master dan doktornya,
Hidayat Nur Wahid melibatkan diri dalam Yayasan Alumni Timur Tengah dan
mendirikan yayasan-yayasan alumni Timur Tengah. Ia juga mendirikan
Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Yayasan al-Haramain
sebagai bentuk baktinya terhadap pesantren. Yayasan al-Haramain ini
pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat dimana ia menjabat sebagai dewan
redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan sebagai counter terhadap
Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema pembaharuan Islam
Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian, sebagai seorang
Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh rasa hormat kepada
Cak Nur.
Dalam pandangannya yang objektif, Hidayat Nur Wahid
memandang Cak Nur sebagai sosok yang ingin menghadirkan Islam dan Umat
Islam yang bisa diterima secara elegan oleh semua masyarakat dunia,
dimana Islam ditempatkan pada tempat yang tinggi, menginternasional, dan
universal. Islam menjadi sesuatu yang membawa pada pencerahan, bukan
Islam yang disalahpahami, anti budaya, dan sejenisnya. Meskipun pada
beberapa hal, Hidayat mengakui bahwa merupakan hal yang wajar jika ia
tidak selamanya sependapat dengan Cak Nur.
Hidayat Nur Wahid juga
pernah menjabat sebagai Ketua Forum Da’wah Indonesia, peneliti di
Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum (LKFKH) al-Khairat, dan juga
sebagai salah satu pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.
Dalam
bidang akademis, sebagai bentuk pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan,
Hidayat Nur Wahid juga melibatkan diri mengajar di sejumlah Perguruan
Tinggi. Ia menjadi dosen pada Program Pasca Sarjana Magister Studi
Islam, dan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas
Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid juga menjabat sebagai dosen
pasca sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen
pasca sarjana di Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena
perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya
mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik,
Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan
politik,[8] untuk memimpin demonstrasi terbesar di Indonesia yang
tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA)
pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke
Irak.
Sebelumnya Pada tahun 2000, atas permintaan dari Nurchalish
Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula
menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai
(FID), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para aktivis, akademisi, dan
tokoh lintas agama seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Frans
Magnes Suseno, Bara Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan
Mar’ie Muhamad.
Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat
disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini
disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi
pada waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal,
di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan
Filipina. Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan
pembunuhan tersebut dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia.
Lebih jauh ia khawatir memang ada skenario pihak-pihak tertentu yang
ingin mengail di air keruh agar terjadi konflik horizontal tersebut.
Sebagai
seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga
didasari oleh perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam
surah al-Ma’idah/5:2 yakni “wa ta‘awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wa la
ta‘awanu ‘ala al-itsmi wa al‘-udwan” (“dan tolong-menolongah kamu dalam
kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan
pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan
bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya
sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh
bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.
Dalam konteks
politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia
menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000,
menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus
berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas
jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang
melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah
terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.
Sebelum menjabat
sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal
Gerakan Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid
dikenal sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan
pada 20 Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi
presiden partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum
tepat.
Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang
sangat segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah
partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari
kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi
Azra membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif.[11] Padahal
tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai
politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan
partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik
harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan
apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu.
Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS
Anis Matta,
“Kalau basis organisasi bersifat elitis-eksklusif,
maka basis sosial bersifat massif dan terbuka. Kalau basis organisasi
berorientasi pada kualitas, maka basis sosial berorientasi kuantitas.
Kalau organisasi meretas jalan, maka masyarakatlah yang akan melaluinya.
Kalau para pemimpin melihat ke depan dengan pikiran-pikirannya yang
jauh, maka massa menjangkau ke depan dengan tangan-tangannya yang
banyak. Kalau pemimpin yang hebat mendapatkan dukungan publik yang luas,
maka akan terbentuklah sebuah kekuatan dakwah yang dahsyat…begitulah
menciptakan sinergi antara kualitas dengan kuantitas, keduanya mempunyai
peran yang sama srategisnya.”
Keharusan melebarkan “sayap” pada
segmentasi yang lebih luas ini pun disadari oleh Hidayat Nur Wahid.
Dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan,
Hidayat menyatakan bahwa jabatan itu sejatinya merupakan amanah yang
tidak ringan. Hidayat Nur Wahid kemudian merinci tantangan-tantangan
yang akan dihadapi partainya tersebut,
Pertama, masalah pencitraan
partai yang sebagaimana diulas diatas, masih terbatas pada segmen
tertentu. Menurut Hidayat, Meskipun citra ini positif karena memperjelas
segmentasi pendukung, namun dalam konteks dakwah hal ini menjadi tidak
tepat karena dasar dakwah adalah seruan pada seluruh segmen masyarakat
apapun kondisinya. Menurut Hidayat, pencitraan tadi akan menghambat
pelebaran dakwah karena nilai-nilai dakwah Partai Keadilan akan
terkungkung pada segmen-segmen yang terbatas.
Kedua, faktor
konsolidasi internal. Konsolidasi internal harus terus mengalami
penguatan meskipun dalam tubuh PK sudah cukup solid.
Ketiga,
adalah faktor komunikasi dan sosialisasi massa. Hidayat Nur Wahid
berpandangan bahwa untuk meyakinkan masyarakat bahwa Partai Keadilan
tidak mengalami stagnasi setelah ditinggal oleh Nur Mahmudi, maka
jalinan komunikasi dengan media massa dan kalangan yang memiliki akses
massa harus lebih mengalami peningkatan. Hidayat Nur Wahid paham bahwa
peran media massa sangat besar dalam pembentukan opini yang menentukan
aspirasi politik publik.
Keempat, Partai Keadilan harus dapat
memenuhi pandangan masyarakat yang menuntut bahwa Partai Keadilan
haruslah menjadi partai besar. Sehingga pengkaderan harus dilakukan
secara massif dan terus menerus dengan target dominannya nilai-nilai
dakwah di masyarakat.
Kelima, adalah masalah finansial,
bagaimanapun Hidayat memahami bahwa kegiatan partai adalah kegiatan yang
bersifat massal dan harus terprogram secara professional, sehingga
diperlukan adanya terobosan agar kebutuhan finansial partai dapat
terpenuhi secara mandiri.
Pada tahun 2003, Hidayat Nur Wahid
kemudian memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebetulnya
merupakan metamorfosa dari Partai Keadilan. Di bawah kepemimpinannya,
meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, Partai Keadilan
Sejahtera berhasil melipatgandakan suaranya pada Pemilu 2004 sebesar
600%. Partai Keadilan yang pada Pemilu 1999 hanya memperoleh 1,4% suara
nasional, meraih 7,34% pada pemilu 2004. Untuk partai yang baru
dideklarasikan pada tahun 2003, perolehan tersebut merupakan sebuah
prestasi yang menurut Saiful Mujani,[14] amat mengesankan. PKS bahkan
mampu mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai yang lebih awal
berdiri, dan dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais.
Lompatan
suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan Hidayat Nur Wahid menjadi
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah mengalahkan Sucipto dengan
selisih hanya dua suara dalam pemilihan yang berlangsung secara
demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR tanggal 6 Oktober 2004. Setelah
memimpin MPR itulah nama Hidayat Nur Wahid dikenal luas sebagai tokoh
yang sederhana dan sebagai ikon anti KKN.
Menurut Azyumardi Azra
fenomena kemunculan Hidayat Nur Wahid dan semua kiprah PKS diatas
merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai mainstreaming of Islamic
politics, pengarusutamaan politik Islam, sebagaimana dipahami dan
ditampilkan PKS.
Dalam pengarusutamaan ini Hidayat Nur Wahid
semakin ke tengah. Ia tidak lagi terpingir dan terpencil dari hiruk
pikuk politik yang berlangsung. Sebaliknya, ia menjadi aktor dan pelaku
yang cukup menentukan.
Hidayat Nur Wahid memang tidak menghasilkan
banyak karya tulis, namun aktivitas sosial dan terutama politiknya yang
mencerminkan ketinggian moral, telah menuai banyak simpati dan pujian.
Posted by Abd. Hafidz AR at 19:07 0 comments
Manajemen Aksi....
MANAJEMEN AKSI (DEMONSTRASI)
“Mahasiswa adalah
aset umat. Ia bersifat elitis dan eksklusif. Jumlahnya hanya 2 % dari
penduduk Indonesia yang 200 juta jiwa. Mahasiswa aktivis lebih elitis
lagi, mungkin hanya ada 1 mahasiswa aktivis di antara 10 mahasiswa.
Namun, agenda yang mereka perjuangkan sangat populis, dan realistis.
Mahasiswa-lah yang bisa membangkitkan semangat perlawanan rakyat
terhadap rezim tiran. Mahasiswa-lah yang bisa mengawal reformasi hingga
ke titik tujuan. Rakyat menaruh harapan atas kekuatan intelektual dan
kekuatan aksi yang mahasiswa miliki.Jadi, pahami dirimu dan sekitarmu,
dan mari kita bergerak lagi ! Reformasi belum usai !”
Dengan
kekuatan intelektual di atas rata-rata masyarakat awam, mahasiswa
memiliki kemudahan untuk mengakses berbagai informasi wacana dan
peristiwa dalam lingkup lokal hingga internasional. Begitu juga dengan
kemudahan akses literatur ilmiah dan gerakan-gerakan pemikiran, yang
pada tujuan akhirnya akan menentukan ideologi atau sistem hidup yang
akan dijalaninya. Buku yang ia baca, informasi yang ia terima,
tokoh-tokoh yang ia ajak bicara, adalah beberapa faktor utama yang kelak
sangat berpengaruh terhadap idealisme hidupnya.Selain kekuatan
intelektual yang identik dengan aktivitas ilmiah, mahasiswa juga
memiliki kewajiban untuk menguatkan potensi kepekaan sosial politiknya.
Disebut kepekaan sosial karena mahasiswa pada dasarnya adalah bagian
dari rakyat. Apapun yang terjadi pada rakyat maka mahasiswa akan turut
juga merasakannya. Kenaikan BBM, harga bahan pokok, listrik, dan air
misalnya akan memberi ekses terhadap aktivitas kuliah. Disebut kepekaan
politik, karena gejolak sosial yang terjadi umumnya selalu merupakan
hasil side effect dari aktivitas politik, semisal disahkannya suatu UU.
UU Ketenagakerjaan misalnya akan mempengaruhi kesejahteraan dan taraf
hidup para buruh.Setelah cerdas secara profesi keilmuan dan cerdas
sosial politik, maka sebagai gerakan ekstraparlementer mahasiswa
memiliki kewajiban moral untuk mengimplementasikan pengetahuannya itu
dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Atau dengan kata lain
menyuarakan kepentingan kebenaran dan rakyat. Berbagai metode dapat
dilakukan. Dari bentuk pendampingan, advokasi, public hearing, audiensi
dengan pemerintah dan legislatif, hingga demonstrasi (aksi).
Demonstrasi adalah cara paling efektif dalam menyuarakan kebenaran,
khususnya jika dilaksanakan pada rezim yang antidemokratis dan tiran.
Dalam makalah ini, akan dibahas sekelumit tentang manjamen demonstrasi
atau aksi, yang selanjutnya akan disebut dengan MoA (Management of
Action). Pengetahuan akan MoA ini menjadi penting agar niatan yang
benar itu dapat mencapai hasil optimal karena dilakukan dengan cara
yang benar pula. MANAJEMEN AKSIPengertianAksi (demontrasi) adalah suatu
model pernyataan sikap, penyuaraan pendapat, opini, atau tuntutan yang
dilakukan dengan jumlah massa terntentu dan dengan teknik tertentu
agar mendapat perhatian dari pihak yang dituju tanpa menggunakan
mekanisme konvensional (birokrasi). Demonstrasi juga bertujuan untuk
menekan pembuat keputusan untuk melakukan sesuatu.
Latar
Belakang dan Tujuan Aksi umumnya dilatarbelakangi oleh matinya jalur
penyampaian aspirasi atau buntunya metode dialog.. Dalam trias
politika, aspirasi rakyat diwakili oleh anggota legislatif. Namun dalam
kondisi pemerintahan yang korup, para legislator tak dapat memainkan
perannya, sehingga rakyat langsung mengambil ‘jalan pintas’ dalam
bentuk aksi. Aksi juga dilakukan dalam rangka pembentukan opini atau
mencari dukungan publik. Dengan demikian isu yang digulirkan harapannya
dapat menjadi snowball. Dari isu mahasiswa menjadi isu masyarakat
kebanyakan, seperti dalam kasus aksi menuntut mundur Soeharto.
Landasan
Hukum Aksi adalah hak bahkan dalam situasi tertentu dapat menjadi
kewajiban. Ia dilindungi oleh UU positif. Selain Declaration of Human
Right (freedom of speech), hak aksi juga dilindungi oleh UUD 1945 pasal
28 beserta amandemennya. Secara lebih spesifik, aksi ini kemudian
diatur dengan adanya UU No. 9/1998 tentang Mekanisme Penyampaian
Pendapat di Muka Umum. UU ini mengharuskan panitia aksi harus
memberikan pemberitahuan kepada pihak kepolisian setidaknya 3 hari
menjelang hari H. Ketentuan lainnya adalah, didalam surat pemberitahuan
itu harus ada nama penanggung jawab aksi, waktu pelaksanaan, rute
yangh dilewati, isu yang dibawa, jumlah massa, dan bentuk aksi. Selain
itu ada juga larangan untuk melakukan aksi pada hari-hari tertntu dan
tempat-tempat tertentu. Dalam pandangan aktivis, UU ini pada awal
pengesahannya dicurigai sebagai alat untuk mengibiri suara kritis
mahasiswa dan rakyat. Dan pada perkembangannya, UU inilah yang
digunakan oleh rezim berkuasa via aparat kepolisian untuk mematikan
suara oposan, dengan banyak menyeret para aktivis ke penjara.
Kode
EtikUntuk menjaga konsistensi gerakan, beberapa elemen gerakan
mahasiswa memiliki kode etik aksi. Kode etik ini pula yang menjadi
faktor pembeda aksi yang satu dengan aksi yang lainnya.Di KAMMI
misalnya, kode etiknya adalah memulai dan menutup aksi dengan doa,
tidak membaurkan peserta aksi putra dengan putri, dan tidak mencemooh
seseorang dari cacat fisiknya. Faktor pembeda lainnya adalah lirik
lagu-lagu perjuangan dan kata-kata pekik teriakan.
MEKANISME
LAHIRNYA KEPUTUSAN AKSIKeputusan aksi sebaiknya didiskusikan secara
matang analisis SWOT-nya. Organisasi intra kampus mempunyai mekanisme
yang berbeda namun hampir sama dengan mahasiswa ekstra. Di ekstra jalur
pengambilan keputusan lebih pendek sehingga keputusan aksi dapat lebih
cepat dieksekusi. Secara garis besar mekanisme lahirnya keputusan aksi
adalah sbb :
- Diskusi awal (Tim/Dept. Khusus : bidang Sospol), dteruskan ke :
- Diskusi Lanjutan (pelibatan kader, (unsur UKM), menghadirkan pakar, penerbitan Pers Release), lalu
- Pembentukan Tim Teknis Aksi
- Aksi di lapangan
Dalam merancang aksi, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : planning aksi, perangkat aksi, pelaksanaan, dan kegiatan paska-aksi.
Planning Aksi Dalam tahap perencanaan aksi, hal urgen yang perlu diperhatikan adalah :
- Tema / Grand Issue. Pilihlah tema atau isu yang sedang hangat menjadi bahan pembicaraan (up to date) atau relevan atau sesuai dengan kebutuhan organisasi yang bersangkutan. Kemudian fokuskan, agar informasi atau opini yang hendak dibangun tidak bias.
- TargetSusun target. Baik target teknis seperti pencapaian jumlah massa dan blow up media, dan target esensi seperti isu tuntutan aksi. Begitu juga target siapa yang pihak yang hendak dituju.
- Skenario. Seperti
halnya film, aksi butuh skenario, yang menjadi acuan bergeraknya aksi.
Skenario ini mencakup rute, tokoh orator, happening art, dan acara
lainnya. Sebaiknya skenario disiapkan lebih dari satu. Jika ada sesuatu
hal di lapangan tak memungkinkan berjalannya sebuah skenario, dapat
diganti dengan skenario lain (plan B).
MassaDalam aksi yang mengandalkan massa, strategi penggalangan massa menjadi penting, demikian juga dengan cara mengendalikan massa jika massa berjumlah besar. - PemberitahuanTergantung pada kebutuhan. Jika kita
memutuskan untuk menulis pemberitahuan, maka lakukan sesuai dengan UU
No. 9/1998. Begitu juga dengan pemberitahuan kepada media massa
(release awal) agar kelak mereka dapat meliput kita.
media interestAksi yang ‘menarik’ akan disukai oleh media. Karena itu perlu diperhatikan sebuah momen yang khusus didesain untuk konsumsi jurnalis foto, selain press release untuk jurnalis berita. - Format Format atau bentuk aksi adalah pilihan dari banyak bentuk aksi. Pilihannya ada dua, format kekerasan atau nirkekerasan. Sebagai ‘penjaga gawang’ gerakan moral, maka seyogyanya aksi mahasiswa bersifat nirkekerasan. Aksi nirkekerasan ini sangat bervariatif sekali. Dimulai dari aksi diam (bisu), orasi, happening art, aksi topeng, mmogok makan, hingga ke blokade, pengepungan, dan boikot.
- KorlapKoordinator Lapangan adalah pemegang komando ketika aksi sedang berjalan. Peserta aksi harus mentaati setiap arahan dari korlap. Korlap memperoleh masukan informasi dari perangkat lain yang akan digunakannya untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Korlap juga yang bertugas menjaga stamina massa agar tidak loyo dan tetap konsentrasi ke aksi. Korlap bukanlah amanah instant. Ia diperoleh dari proses jangka panjang. Korlap adalah orang paling mengerti tentang isu yang sedang diperjuangkan, sehingga wawasan pengetahuannya dapat dikatakan lebih banyak dari yang lainnya. Korlap dapat juga berorasi.
- OratorTerkadang diperlukan orator khusus selain korlap, khususnya pada aksi aliansi atau aksi yang melibatkan tokoh. Para orator ini menyampaikan orasi berdasarkan isu yang telah disepakati bersama. Bobot suatu orasi ditentukan oleh susunan kalimat, data up to date, dan kualitas pernyataan sikap. - AgitatorAgitator adalah pembangkit semangat massa dengan pekik teriakan disela-sela orasi korlap dan orator. Ia juga membantu korlap untuk menjaga stamina massa dengan memimpin lagu dan yel-yel.
- NegosiatorTerkadang diperlukan person yang khusus bertugas untuk melakukan negosiasi. Negosiasi ini dilakukan kepada aparat polisi atau pihak-pihak yang ingin dituju jika aksi di-setting audiensi.
- HumasTim Humas adalah salah satu elemen penting aksi. Tim humas bertanggung jawab dalam menjembatani aksi kepada para jurnalis. Mereka membuat pers release. Bobot Pers Release itu dibuat berdasarkan nilai-nilai jurnalistik. Disebut sukses jika media tidak bias memuat tuntutan atau opini yang hendak digulirkan oleh aksi.
- Security/borderTim ini bertugas menjaga keamanan peserta aksi. Mereka juga wajib untuk mengidentifikasi para penyusup atau aparat yang hendak memprovokasi agar aksi berakhir chaos. Tim ini memiliki bahasa tersendiri yang hanya diketahui oleh sedikit orang dari peserta aksi.
- DokumenterTim ini memback-up tim humas. Tetapi inti tugasnya adalah mendokumentasi aksi dari awal hingga akhir serta membuat kronologis aksi. Dokumentasi ini dengan kamera, handycam ataupun notes. Data ini akan digunakan sebagai bukti otentik jika aksi mengalami kekerasan dari aparat atau massa lain.
- MedikTugas ini memang spesifik bagi mereka yang menguasai ilmu medis. Umumnya adalah mahasiswa kedokteran atau mereka yang pernah terlibat dalam aktivitas kepalangmerahan atau bulan sabit merah. Tim ini memberikan pertolongan pertama kepada peserta aski yang mengalami cidera.- LogistikDalam aksi yang disetting lama dan melelahkan. Tim logistik bertugas untuk menyediakan sarana untuk membugarkan peserta aksi seperti air minum, snack dan sound system. Terkadang, mereka juga membuat dan mendesain kertas tuntutan atau karikatur.
- Tim kreatifTim ini memiliki kewenangan untuk mendesain sebuah atraksi seni atau instalasi sesuai amanat hasil musyawarah.
Pelaksanaan dan Pasca Aksi Saat massa telah terkumpul di tempat yang telah ditentukan, maka korlap sebaiknya tidak langsung memberangkatkan peserta aksi sebelum ada taujih (nasehat) dan doa. Selain itu perlu juga adanya pemanasan (warming up) dengan cara melatih yel-yel atau orasi untuk pencerdasan peserta aksi. Warming-up ini bertujuan untuk mensolidasi peserta aksi. Setelah kompak, solid, dan cerdas barulah aksi dimulai.Saat aksi, peserta wajib menghormati komnado korlap dan turut menjaga keamanan aksi hingga aksi usai. Jika aksi disetting serius atau aksi bisu maka peserta harus menjauhkan dari kegiatan senda gurau dan ketidakseriusan. Seusai aksi, maka peserta menutupnya dengan doa. Evaluasi juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas aksi berikutnya. Tim humas juga memonitoring media untuk memantau keberhasilan blow-up media dan tingkat ke-bias-an tuntutan.
- Angle foto Foto dapat berbicara lebih banyak dari kata-kata. Maka desain aksi yang menyediakan angle foto yang baik akan membuat aksi lebih mudah ter-blow up. Misalnya: aksi LSM Pro Fauna yang membuat balon kura-kura raksasa dalam menentang eksploitasi kura-kura sebagai komoditas.
- Kalimat posterKalimat poster biasanya juga menjadi incaran fotografer. Pilihlah kalimat yang cerdas namun tetap mencerminkan akhlak seorang mahasiswa. Unik dan kreatif adalah kuncinya. Misal : IMF = International Monster Fund.
- Uniform Keseragaman pakaian peserta aksi juga dapat menarik perhatian. Pakaian putih-putih, hitam-hitam atau mengenakan pakaian seperti orang utan untuk aksi mendukung keberlangsungan orang utan.
- Propaganda Propaganda dibuat untuk mencerdaskan masyarakat di sekitar aksi agar mereka mendukung aksi. Jika aksi dipusat keramaian, maka selebaran propaganda dapat menjadi bacaan yang mengusik perhatian.
- Pers release Selain data 5W+1H, pers release juga disusun dengan kalimat baik dan sudah sesuai dengan bahasa koran, sehingga redaktur tidak banyak mengedit. Adanya tambahan data dan angka dapat menambah bobot release.
- Yel/laguCiptakanlah yel-yel yang khas dan mudah diingat. Lagu bisa diperoleh dengan mengubah lirik dari lagu yang populis. Yel dan Lagu akan memelihara stamina massa.
- Symbolized Simbolisasi perlu dilakukan untuk mencuri perhatian media jika massa aksi tidak terlalu banyak. Misalnya : aksi membawa tikus ke kantor DPRD untuk menyindir anggota dewan yang tak ubahnya seperti tikus-tikus pengerat.
- Aliansi taktis Untuk memperkuat posisi tawar, aliansi kadang diperlukan. Aliansi didasarkan pada pertimbangan kesamaan ideologi, atau kesamaan isu , atau kesamaan metode. Jika aliansi ini adalah dari universitas, maka bendera masing-masing universitas wajib untuk ditonjolkan.
- Menghadapi wartawan. Jika jurnalis TV mewawancarai peserta aksi, sebaiknya peserta tersebut mengarahkannya kepada tim humas atau korlapnya agar jurnalis itu dpat mewawancarai person yang lebih valid dalam memberikan keterangan. Ketika di wawancara, demonstran yang efektif merancang pesannya supaya bisa disampaikan secara utuh dalam tempo 10 hingga 15 detik. Setelah pesan disampaikan secara singkat, padat, dan utuh - baru kemudian dilakukan elaborasi. Ini menjaga agar pesan utama secara utuh tetap bisa tersiar walaupun mungkin elaborasinya terpotong. Hal ini disebabkan karena spot berita TV sangat singkat, berbeda dengan media cetak yang dapat memuat banyak.
Beberapa pertanyaan dari wartawan yang bisa diantisipasi oleh setiap peserta aksi adalah:- Mengapa anda berada disini?
- Apa yang ingin anda capai?
- Apakah demonstrasi ini sungguh-sungguh merupakan solusi?
- Apa yang bisa dilakukan oleh khalayak untuk masalah yang anda perjuangkan?
So, Selamat Berjuang !Sampai Jumpa di jalanan !
Created By : Abdul Hafidz AR
Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP UR
Berdomisili di Pekanbaru
kritik dan saran bisa disampaikan ke :
bmalay48@yahoo.com
Posted by Abd. Hafidz AR at 19:05 0 comments
ARAH PERGERAKAN MANTAN MAHASISWA
SEPERTI APA PERJUANGAN MANTAN AKTIVIS MAHASISWA ??
Mantan mahasiswa mungkin itu salah satu sebutan buat para mahasiswa
yang telah menjadi wisudawan dan wisudawati, dunia yang baru akan
mereka masuki. Dunia seperti apa ?? apakah para mantan mahasiswa akan
berhenti melakukan pergerakan setelah mereka jadi sarjana?? Itu semua
akan menjadi sebuah pilihan dan tantangan yang berat untuk mereka tapi
sangat disayangkan kalau pergerakan yang telah di bangun dengan tetesan
keringat dan pengorbanan yang besar ditinggalkan begitu saja.
Pergerakan seperti apa yang akan dilakukan oleh para mantan mahasiswa
dan kemana arahnya..??
ARAH PERGERAKAN DAN SEPERTI APA ?
Arah perjuangan mahasiswa pasca wisuda tergantung dari apa yang
ditempuh pada waktu ia kuliah. Mahasiswa aktivis selalu terjun kedunia
politik praktis yang notabene menumbuhkan karirnya sebagai mahasiswa
aktivis. Tetapi yang perlu disadari tidak semua mahasiswa aktivis
terjung kedunia politik hal ini depengaruhi oleh faktor budaya dan
lingkungan masyaraka disekitarnya. Dan kalaupun ada mahasiswa aktivis
yang terjung kedunia politik praktis tidak lepas dari perjuangan untuk
kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan umum (umat). Peran aktivis
hanya sebatas mencari ideologi oportunisme yang ujung- ujungnya
kekuasaan dan keuntungan materialisme. Sehingga tidak heran kita
melihat perkembangan ideologi kapitalisme begitu drastis. Aktivis
(mantan mahasiswa) aktifitasnya dalam politik praktis membutuhkan wadah
atau tempat untuk membangun wacana politiknya seperti LSM,Ornop,
Parpol dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan terakhir “adakah”
kontribusi yang diberikan oleh aktivis terhadap kehidupan masyarakat?.
Kalapun kita lihat dari istilah “politik praktis” sudah barang tentu
para aktivis lebih menekankan untuk membangun masyarakat politik bukan
civil society (masyarakat madani). Masyarakat politik adalah
masyarakat yang lahir dari masyarakat alamiah yang mementingkan
kebebasan dalam mencari dan merebut kekuasaan. Disini, beda dengan
istilah civil society yang dimana masyarakat dirancang dalam
keorganisasian yang akuntabel dalam kehidupan bernegara. Aktivis yang
mengenyam dunia pendidikan ditingkat perguruan tinggi lebih tau akan
pergolakan kehidupan masyarakat karena mereka mempunyai teori untuk
memprediksikanya. Tetapi kenapa aktivis tidak mampu mengambil jalan
tengah untuk menyelesaikan permasalah (konflik) yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, jawabannya karena aktivis lebih membangun
political behavior dalam tatanan masyarakat ketimbang social behavior.
Pada saat kuliah jiwa antusianisme aktivis dalam merespon
permasalahan publik sangat berkobar bagaikan api. Teriakan dan gerakan
aktivis sangat lantang bahkan ditakuti oleh para birokrasi. Tapi ketika
keluar dari dunia kemahasiswaan suara aktivis hilang dan kalaupun ada
hanya suara oportunisme. Aktivis telah dihegomoni oleh paradigmanya
sendiri dan dari pihak elit politik. Yang akhirnya aktivis dijadikan
alat oleh elit politik dalam mencari kekuasaan atau mempertahankannya.
Lebih parah lagi,tidak jarang aktivis bersifat premanisme dalam
perpolitikan yang rakus dengan jabatan dan kekuasaan yang tidak
menghiraukan kata “tidak” bahkan “lawan”, segala cara ditempuh demi
mencapai tujuan. Moral politik dijadikan hitam putih dalam retorika
politik dan agama dijadikan landasan retorika politik “kotor”. Belum
hilang dari ingatan kita sosok aktivis Akbar Tanjung yang terjebak
dalam kasus korupsi, dan banyak aktivis-aktivis lain yang dijadikan
sebagai refleksi betapa rusaknya moral aktivis pasca wisuda.
Menurut saya sangat sulit untuk menemukan aktivis sejati pasca
wisuda yang gerakannya sesuai komitmen awal untuk membina masyarakat
madani (civil society) dalam membangun bangsa. Aktivis juga manusia
yang cenderung lemah dalam melawan politik dan akhirnya politik yang
mengarahkan aktivis bukan aktivis yang mengarahkan politik. Ibnu
khaldun pernah mensyinalirkan politik merupakan puncak syahwat manusia.
Dimata masyarakat aktivis merupakan sosok intelektual yang akan
mengarahkan roda perpolitikan dikanca publik. Aktivis masuk dirana-rana
partai politik yang mencari jalan menuju kekuasaan dan pada
kesempatan. yang sama aktivis menghegomoni masyarakat melalui
keintelektualnya.
Produk dari perjuangan aktivis adalah nampaknya politisi- politisi
hitam ditatanan lembaga negara terutama dalam lembaga legislatif. Maka
tidak heran diera reformasi dalam tatanan lembaga negara Indonesia
masih diwarnai oleh politisi- politisi hitam. Dialektika diatas
merupakan fakta gerakan aktivis pasca wisuda. Pada hakekatnya
perjuangan aktivis bersifat kontinu bukan hitam putih.Aktivis harus
mampu membangun konsep masyarakat madani (civil society) untuk melawan
depotisme negara.
Semoga apa yang telah mereka bangun tidak hilang,karakter
kritis,kejujuran dan idealisme mereka tidak hilang termakan lobi-lobi
politik dan diskusi-diskusi dilematis yang syarat intrik dan skenario.
Wallahu A'lam
Dikutip dari Berbagai Sumber
Created By : Abdul Hafidz AR
Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP UR
Berdomisili di Pekanbaru
kritik dan saran bisa disampaikan ke :
bmalay48@yahoo.com
085263905088
Posted by Abd. Hafidz AR at 19:03 0 comments
SEKALI BERARTI SESUDAH ITU MATI
Wiji Thukul: Sekali Berarti, Sudah Itu Mati
Kalau kita mau jujur, barangkali Wiji Thukul adalah satu-satunya penyair yang dengan lantang menyuarakan perlawanan terhadap sebuah rezim diktator Orde Baru. Hal ini tidak saja tampak dari aktivitasnya sebagai pelaku kebudayaan dalam Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) yang merupakan underbow Partai Rakyat Demokratik (PRD)—sebuah partai politik yang lahir, dibesarkan, dan berbasis anak-anak muda yang dipimpin oleh Budiman Sujatmiko—tetapi juga terekspresikan melalui sajak-sajaknya. Salah satu sajaknya yang terkenal, “Peringatan”, yang memberi kesan mendalam pada seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), Munir—yang juga meninggal karena diracun di atas peawat Garuda—menggoreskan kata-kata yang demikian berjiwa: hanya ada satu kata: lawan!
Meskipun Wiji Thukul diculik dan dilenyapkan oleh kaki tangan rezim Orde Baru karena puisi-puisinya serta aktivitasnya di dunia politik praktis, namun semangat perjuangan yang tercermin dalam sajak-sajaknya akan terus hidup. Karena demikianlah sunatullah (hukum alam) yang berlaku di dunia kepenyairan: kata-kata yang dilahirkan oleh penyair akan panjang usianya dibandingkan dengan penyairnya itu sendiri. Chairil Anwar pernah menciptakan sebuah konsep “hidup abadi” dengan mengatakan, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Namun, usia Chairil Anwar tak juga mencapai 30 tahun, tapi kata-katanya masih tetap dikenang orang sampai sekarang. Demikian pula dengan Wiji Thukul yang menghasilkan puisi masterpiece berjudul “Peringatan” yang menunjukkan oposisi biner dan sekaligus berupaya meruntuhkan oposisi biner itu. Wiji Thukul menggambarkan posisinya sebagai penyair yang beroposisi dengan penguasa tiran/diktator. Kata-kata dalam puisi itu akan terus hidup dan digunakan tidak saja oleh pembaca sastra tapi juga oleh aktivis atau orang-orang pergerakan untuk melakukan resistensi terhadap rezim yang otoriter dan represif.
R. von der Borgh (1990) menemukan dua versi sajak “Peringatan” yang ditulis Wiji Thukul, yakni yang ditulis pada 1986 dan yang direvisi pada 1987. Revisi sajak “Peringatan” inilah yang menghasilkan kata-kata berjiwa tersebut: hanya ada satu kata: lawan! Dalam sajak versi pertama, kata-kata itu belum muncul. Sajak “Peringatan” edisi revisi ini sekaligus memperlihatkan kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul. R. von der Borgh mencatat bahwa kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul itu tidak terlepas dari pergaulan Wiji Thukul dengan budayawan-budayawan Jawa Tengah, teristimewa Halim H.D., yang membuka/memberi peluang bagi Wiji Thukul untuk memasuki wilayah sastra dan budaya Indonesia yang lebih luas. Halim H.D. pula yang berjasa memproklamasikan “sastra ngamen” dan “sastra gugat” ciptaan Wiji Thukul di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada September 1987.
Adapun kedua versi sajak “Peringatan” itu adalah sebagai berikut:
Peringatan (sebelum direvisi)
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat berbisik-bisik
ketika berbicara
penguasa harus waspada
dan belajar mendengar
dan bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
bila rakyat patuh-patuh
penguasa harus mencari sebabnya
bila omongan penguasa tak ada yang membantah
kebenaran pasti terancam
bila usul ditolak
kritik dilarang
dengan dalih mengganggu keamanan
berarti penguasa sedang ketakutan
kekerasan pasti digunakan
maka berhati-hatilah
Peringatan (setelah direvisi)
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Solo, 1986
Jika kita bandingkan kedua versi sajak itu, tampak bahwa versi kedualah yang memperlihatkan vitalitas penyairnya yang tinggi. Sajak “Peringatan” itu diciptakan Wiji Thukul pada 1986 dan direvisi pada 1987, di saat rezim Soeharto masih sangat kokoh bercokol di kursi kekuasaan—sehingga tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menjadi kekuatan penyeimbang (oposisi) dalam sebuah negara demokrasi Pancasila. Kata-kata ciptaan Wiji Thukul yang terakhir itu seakan-akan menjelma mantera yang dapat memberi spirit bagi perjuangan para buruh dan mahasiswa demonstran, terutama untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan.
Memang, Wiji Thukul bukanlah satu-satunya pejuang yang menyuarakan hak asasi manusia (HAM), karena di luar wilayah sastra, atau tepatnya di kalangan pejuang HAM di Indonesia, kita juga mengenal Marsinah, Udin (Muhammad Syafruddin), Munir, Benjamin Mangkoedilaga, Baharuddin Lopa, Trimoelja D. Soerjadi, dan masih banyak lagi yang belum tercatat. Namun, di bidang sastra, terutama puisi, Wiji Thukullah yang pantas dikenang dan diberi penghargaan. Konsistensi perjuangannya dapat dikatakan menyamai perjuangan Si Burung Merak, Rendra.
Cerpenis Linda Christanty menggambarkan bagaimana Wiji Thukul dan Rendra sama-sama mendapat penghargaan Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda karena karya-karya yang mereka hasilkan. Saat itu, hanya Rendra yang bisa berangkat ke Belanda. Penghargaan dan hadiah berupa sejumlah uang untuk Wiji Thukul pun dititipkan kepada Rendra. Namun, sampai Wiji Thukul hilang pada pasca kasus 27 Juli 1996, uang itu tidak pernah sampai kepadanya (Christanty, 2002).
Sementara perjuangan Wiji Thukul ibarat memperjuangkan kebenaran hakiki, atau perjuangan untuk mencapai splendor veritatis (‘cahaya kebenaran’) sebagaimana yang diungkapkan Y.B. Mangunwijaya (lihat Taum, 2002), yakni keadilan bagi sesama manusia tanpa memandang kelas sosial. Apa yang disuarakan Wiji Thukul dalam sajak-sajaknya adalah fakta sosial yang jarang atau tidak pernah diungkap bahkan oleh media massa Indonesia—terutama di masa Orde Baru.
Kemiskinan, ketidakadilan, jurang yang dalam antara si kaya dengan si miskin (ketimpangan sosial) diungkapkan Wiji Thukul dengan bahasa yang lugu, lugas, bahasa sehari-hari, bahasa yang sangat familier dengan keluarga, teman, atau masyarakat di sekitarnya. Harry Aveling (2003) menilai sajak-sajak Wiji Thukul seperti itu sebagai sajak yang keras dan konfrontasional. Hanya saja, karena bahasa semacam itu tertimbun oleh bahasa euphimisme yang menyelimuti bahasa Indonesia di zaman Orde Baru, maka bahasa yang digunakan Wiji Thukul itu menjadi bahasa yang unik. Beberapa sajak Wiji Thukul yang menurut saya mampu menggambarkan kenyataan dengan baik adalah “Sajak Suara”, “(Tanpa Judul)”, dan “Buron”. Keberhasilan Wiji Thukul itu dikarenakan ia menyuarakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dialaminya secara langsung. Dengan demikian, ia menyampaikan substansi tanpa bantuan orang kedua atau bantuan media/peralatan lain. Wiji Thukul tidak sekadar menyampaikan pesan, tapi ia adalah message itu sendiri.
Sajak Suara
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
(Tanpa Judul)
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis
indonesia, 11 agustus 96
Buron
baju lain
celana lain
potongan rambut lain
buku yang dibaca lain
bahan percakapan lain
nama lain
identitas lain
ekspresi lain
menjadi
diri
sendiri
adalah tindakan
subversi
di negeri ini
maka
selalu siaga
polisi
tentara
hukum dan penjara
bagi siapa saja
yang menolak
menjadi orang lain
20 september 96
Gaya bahasa yang lugu seperti ini juga digunakan oleh penyair A. Mustofa Bisri dalam sajak-sajak kontekstualnya, seperti yang tampak dalam sajak “Rasanya Baru Kemarin” yang terdiri dari beberapa versi (Bisri, 2002). Demikian pula mengenai tema penyimpangan dan ketimpangan sosial juga mendapat tempat dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri yang mutakhir, seperti “Tanah Airmata”, “Jembatan”, dan “David Copperfield, Realities ‘90” -- dalam Horison (1998) -- dengan penggunaan bahasa yang sangat canggih. Terlihat bahwa Sutardji Calzoum Bachri yang pada awal kepenyairannya (1974) mengeluarkan kredo puisi yang membebaskan kata dari beban makna atau ide, pada 1990-an telah menunjukkan perkembangan yang sebaliknya, yakni memberi makna pada setiap kata, seperti yang dilakukan Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. Tidak hanya itu, Sutardji Calzoum Bachri berusaha menggunakan puisi untuk menyampaikan pikirannya terhadap realitas sosial yang dibacanya.
Dengan demikian, kalau dikatakan Wiji Thukul hanya memperalat puisi untuk mencapai maksud tertentu (versi penguasa: kepentingan tertentu) maka tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena, bagaimanapun, kata, puisi, karya sastra, merupakan alat atau media ekspresi bagi sastrawan. Sama halnya dengan tentara yang menggunakan peluru, senjata, dan bom nuklir sebagai alatnya. Tinggal dilihat apakah alat itu digunakan dengan baik dan benar seperti pasukan keamanan PBB atau justru sebaliknya: alat itu digunakan untuk mengintervensi negara-negara kecil seperti Afghanistan, Irak, Palestina, Iran, dan Suriah, misalnya, seperti yang dilakukan Amerika Serikat.
Melalui sajak-sajaknya, Wiji Thukul merepresentasikan dirinya sendiri sebagai seorang warga negara yang melarat di sebuah negeri yang subur. Apa yang berharga dari puisiku/ Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak/ Jika nasi harus dibeli dengan uang/ Jika kami harus makan/ Dan jika yang dimakan tidak ada? (“Apa yang Berharga dari Puisiku”). Dalam jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Wiji Thukul mengingatkan bahwa ia tidak sedang membela rakyat. “Saya sebenarnya membela diri saya sendiri. Saya tidak ingin disebut pahlawan karena memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sungguh saya hanya bicara soal diri saya sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi saya. Saya bukan penyair protes. Saya menyadari proses. Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan saya sendiri.” (Thukul, 1994).
Ia menyuarakan isi hati dan pikirannya secara apa adanya, lugu, dan jujur. Dan ketika ia bersuara secara lugu dan jujur, sehingga yang terbaca dalam puisinya adalah suara yang murni (otentik), maka yang terjadi kemudian adalah kecemasan penguasa. Ketika seorang warga negara sadar dengan kenyataan yang ada di sekelilingnya, dan dia mengekspresikan kenyataan dirinya dan menolak penyeragaman, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan kemapanan, menjadi the other, meskipun warga tersebut, dalam hal ini penyair Wiji Thukul, tidak berpretensi apa pun selain mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri sendiri. Sejatinya, setiap orang berhak untuk memperbaiki nasibnya sendiri untuk menjadi lebih baik. Dalam hal Wiji Thukul, untuk memperbaiki nasibnya tersebut, ia mempertanyakan keadaan yang menghimpit hidupnya. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang bernasib lebih baik. Pertanyaan-pertanyaan itu mengkristal menjadi kesadaran yang kemudian merangsangnya untuk melakukan perlawanan atau semacam gugatan terhadap ketidakadilan. Apakah nasib kita akan seperti/ sepeda rongsokan karatan itu?/ o, tidak, dik!/ kita harus membaca lagi/ agar bisa menuliskan isi kepala/ dan memahami dunia (“Puisi Untuk Adik”).
Suara Wiji Thukul yang lugu, blokosuto (blak-blakan) ini kemudian dimaknai sebagai tindakan subversif oleh penguasa yang sangat selektif dalam menerima informasi. Bahkan kecenderungan penguasa tiran adalah menguasai informasi dan mengatur lalu lintas informasi itu. Makanya, ketika Wiji Thukul berpuisi dengan segenap kejujuran, hal itu dianggap sebagai upaya mendobrak arus kemapanan yang telah dipelihara oleh penguasa.
Harus diakui bahwa di tangan Wiji Thukul, kata-kata menjadi alat perjuangan untuk merontokkan sebuah rezim yang zalim. Ia bukanlah penyair sekadar—seperti yang disuarakan Sutardji Calzoum Bachri dalam salah satu sajaknya. Dan, dalam kurun waktu satu-dua dekade, kita sudah bisa melihat runtuhnya sebuah rezim yang angkuh itu. Perhatikan sajak perlawanan seorang Wiji Thukul yang memposisikan dirinya sebagai kaum marginal yang berhadapan dengan penguasa berikut ini:
Bunga dan Tembok
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun – tirani harus tumbang!
Solo, ’87 - ‘88
Sejak Soeharto naik menjadi Presiden RI, sejak perseteruan antara seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—yang beraliran realisme sosial, yang kontekstual—dengan seniman Manifes Kebudayaan (Manikebu)—yang beraliran humanisme universal, yang prinsip keseniannya l’art pour l’art—mulai reda, puisi di Indonesia memang sempat diramaikan dengan puisi-puisi lirik, puisi yang lebih banyak membicarakan kegelisahan atau kegalauan pribadi, seperti yang dipelopori Sapardi Djoko Damono (muda), Goenawan Mohamad (muda), dan mendapatkan tempat yang luas di majalah Horison periode awal. Karya-karya realisme sosial nyaris tidak mendapat tempat di media massa di awal Orde Baru. Ajip Rosidi menyebut situasi semacam itu sebagai “bandul yang berbalik arah”. Sebelum peristiwa G30S, kehidupan seniman Manikebu sangat nelangsa dan seniman-seniman Lekra berada di dalam orbit kekuasaan Soekarno (tua) yang cenderung diktator. Setelah peristiwa itu, suasananya nyaris berbalik 180 derajat. Bahkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang. Mahasiswa yang memperjualbelikan novel-novel Pram pun ditangkap. Tapi, di sisi lain, hal itu serta-merta menjadi karya subaltern, simbol perjuangan demokratisasi ataupun untuk melawan sebuah rezim.
Wiji Thukul, seorang anak muda yang menurut Arief Budiman (1994) mirip pedagang asongan, mengambil jalan lain. Ia menulis puisi yang bisa dimengerti oleh teman-temannya sendiri, menulis tentang kenyataan hidupnya sendiri. Ia pun membacakan puisinya ke kampung-kampung hingga ke kampus-kampus di dalam dan luar negeri. Dan, akhirnya kita lihat bahwa di tangan penyair, fakta sosial bisa menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Jika Udin membongkar fakta money politics Bupati Bantul, Yogyakarta, dengan kepekaan jurnalistiknya, Wiji Thukul mengungkap fakta ketimpangan sosial dengan kepekaan kepenyairannya. Keduanya sama-sama mengungkap fakta, dan keduanya sama-sama dilenyapkan. Namun, kata-kata sang penyair seperti memiliki sejarah hidup yang berbeda dengan penyairnya. Hanya ada satu kata: lawan!.
Bibliografi
Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998.
Magelang: IndonesiaTera.
Bisri, A. Mustofa. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang.
Borgh, R. von der. 1990. “Puisi Wiji Thukul Wijaya”, dalam Tanah Air, Edisi No. 5,
Desember.
Budiman, Arief. 1994. “Wiji Thukul Penyair Kampung”, dalam Wiji Thukul, Mencari
Tanah Lapang. Leiden: Manus Amici.
Christanty, Linda. 2002. “Wiji Thukul, Seorang Kawan”, dalam Ini Sirkus Senyum.
Yogyakarta: Bumimanusia.
Majalah sastra Horison, No. 6 Juni 1998.
Taum, Yoseph Yapi. 2002. “Puisi-puisi Kerakyatan Wiji Thukul”, dalam Jurnal Puisi,
No. 10, Desember.
Thukul, Wiji. 1994. “Seniman Harus Memperjuangkan Gagasannya”, dalam Jurnal
Revitalisasi Sastra Pedalaman, Edisi 2, November.
_____. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: IndonesiaTera.
Posted by Abd. Hafidz AR at 18:59 0 comments
Labels
- Peresmian (1)