Pages

Saturday 29 June 2013

Konsep Politik dalam Islam


Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat (ri’ayatu syuunil ummah), dalam dan luar negeri. Pelaksana praktisnya adalah daulah (negara). Sedangkan umat melakukan muhasabah (kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah (khalifah). Politik dalam negeri dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda (aqidah dan peraturan-peraturan) Islam di dalam negeri. Politik luar negeri dilakukan daulah untuk memelihara urusan umat di luar negeri dengan menjalin hubungan internasional dan menyebarkan mabda Islam ke seluruh dunia (lihat Mafahim Siyasiyah lihizbi Tahrir, An Nabhani hal. 1).
Umat Islam wajib menyibukkan diri dalam menggeluti masalah-masalah politik internasional maupun regional sehingga paham akan fakta politik yang sedang terjadi dan mampu mengambil sikap berdasarkan mabda Islam, untuk memelihara kepentingan umat dan daulah baik di dalam maupun di luar negeri. Rasulullah saw bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan urusan (kepentingan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)”
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan hadits dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy di Mekkah mendebat kaum muslimin dalam konfrontasi mereka dengan mengemukakan kasus kekalahan Rum (ahli Kitab) atas Persia (Majusi musyrik). Mereka mengatakan, “Kalian mengklaim bahwa kalian akan mengalahkan kami dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Mengapa orang-orang Majusi mengalahkan orang-orang Rum padahal orang Rum itu ahli kitab. Jadi kami akan mengalahkan kalian sebagaimana Persia mengalahkan Romawi.” Lalu Allah menurunkan ayat: “Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat. Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi…” (QS. Ar Rum 1-4). Hal ini menunjukkan bahwa kaum muslimin di Mekkah selalu terlibat dalam “perang urat syaraf” dengan kaum kafir Quraisy dalam membahas perkembangan hubungan internasional.
Dalam menggeluti politik dalam negeri, kaum muslimin wajib selalu memperhatikan pelaksanaan pemerintahan kaum muslimin dan meluruskannya jika terjadi penyimpangan. Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang melihat penguasa yang zhalim dengan menghalalkan apa yang diharamkan Allah, mengingkari janji Allah, menyalahi sunnah Rasul, memperkosa hak-hak hamba Allah, lalu tidak mengubahnya dengan perkataan ataupun perbuatan, maka pasti Allah akan menempatkannya di tempat penguasa zhalim itu (di akhirat)” (HR. Ibnu Katsir, lihat, Abdul Aziz Al Badri, Ulama dan Penguasa, hal 45).
Islam mewajibkan berdirinya partai politik yang berjuang untuk Islam dengan tugas menyebarkan dakwah Islam kepada orang-orang kafir di seluruh dunia dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, termasuk kepada penguasa. Firman Allah SWT.:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al khair (dinul Islam) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar” (QS. Ali Imran 104).
Berbeda dengan sistem demokrasi, khususnya demokrasi liberal, dalam Islam tak ada parpol pemerintah (penguasa) dan parpol oposisi. Dalam Islam, kekuasaan itu terletak di satu tangan, yaitu kepala negara atau khalifah. Khalifah, sebagai penguasa tunggal, berhak mengangkat perangkat negara untuk menjalankan pemerintahan. Jadi dalam Islam, para politikus yang aktif dalam partai politik tidak berarti terlibat dalam kekuasaan (walau ini bisa menjadi tangga menuju jenjang kekuasaan apabila dipilih menjadi khalifah atau diangkat menjadi pejabat). Namun para politikus punya tugas besar bersama partainya, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar termasuk muhasabah kepada penguasa agar urusan kepentingan umat tetap terpelihara.
Muhasabah Kepada Penguasa
Dalam Islam penguasa (khalifah) bukanlah orang yang istimewa, tapi pelayan umat yang melaksanakan hukum dan memberi peringatan. Umat berkewajiban melakukan muhasabah kepada penguasa, apabila dia menyimpang dari ketentuan syari’at Islam (Abdul Aziz Al Badri, Ulama dan Penguasa, hal. 45).
Setelah dibai’at menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq ra. berpidato:
“Hai saudara-saudara! Kalian telah membai’at saya sebagai khalifah. Sesungguhnya saya tidaklah lebih baik dari kalian. Oleh karenanya, bila saya berbuat baik, tolonglah dan bantulah saya dalam kebaikan itu. Tetapi bila saya berbuat salah, tegurlah saya. Taatlah kalian kepada saya selama saya taat kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kalian mentaati saya bila saya berbuat maksiat terhadap Allah dan RasulNya.”
Khalifah Umar ra. pernah ditegur oleh seorang wanita tatkala beliau membatasi pemberian mahar atau mas kawin. Wanita itu membacakan firman Allah:»”Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun” (QS. An Nisaa: 20). Mendengar teguran itu, Umar berkata: “Benarlah wanita itu dan sayalah yang keliru”.
Suatu hari tatkala khalifah Muawiyah memulai pidatonya, Abu Muslim Al Khaulani, berdiri dan mengatakan tidak mau mendengar dan mentaati khalifah. Ketika ditanya alasannya ia menjawab, “Karena engkau (khalifah) telah berani memutuskan bantuan kepada kaum muslimin dari baitul mal. Padahal harta itu bukan hasil keringat- mu dan bukan harta ayah ibumu”. Mendengar itu Muawiyah sangat marah, lalu turun mimbar, pergi, dan sejenak kemudian kembali dengan wajah yang masih basah. Ia membenarkan perkataan Abu Muslim dan mempersilakan siapa saja yang merasa dirugikan mengambil bantuan dari baitul mal.
Masih banyak cerita tentang muhasabah yang dilakukan ulama kepada penguasa di masa khilafah Islamiyah dengan berbagai resiko yang mereka hadapi. Namun, berbeda dengan sistem demokrasi, muhasabah yang dilakukan ulama kepada penguasa bukan untuk menjungkirkan pemerintahan khalifah atau menurunkan reputasinya. Dalam Islam tidak dikenal mosi tidak percaya kepada khalifah, sehingga khalifah harus mundur. Oleh karena itu, Muawiyah membiarkan siapa saja yang berkata apa saja tentang dirinya selama tidak mengganggu pemerintahannya. Bahkan Abu Dzar Al Ghifari mencela delegasi dari Kufah yang mengajaknya memberontak kepada khalifah Utsman dengan mengatakan kalaupun Utsman menyalibnya, dia akan tetap mendengar dan taat kepada khalifah. Hanya satu kondisi umat boleh mengangkat senjata terhadap khalifah yaitu bila terjadi kekufuran yang nyata (lihat Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukm fil Islam, hal 244).
Tugas dan Tanggung jawab Ulama Hari Ini
Ulama punya tanggung jawab yang besar terhadap umat disamping tugas mulianya, muhasabah terhadap penguasa, yaitu:
Pertama, ulama harus membangun kesadaran politik umat (wa’ie siyasi), yaitu kesadaran umat tentang cara pemeliharaan urusannya. Untuk itu, umat harus memiliki unsur penting.yakni berprinsip memecahkan permasalahannya dengan ide atau mabda yang dimilikinya. Sebagai muslim kita memahami persoalan, dan kita menyelesaikannya dengan Islam yang menjelaskan pemecahan segala permasalahan manusia (QS. An Nahl 89) dengan metode yang dicontohkan Nabi saw. (QS. Al Ahzab: 21). Kesadaran seperti itulah yang harus dibangun ulama. Kalau tidak, kasadaran politik umat akan dibangun oleh orang lain yang pada gilirannya justru akan menyulitkan umat itu sendiri.
Kedua, ulama harus menggalakkan pengajian-pengajian fiqh, tidak hanya sekitar thaharah, shalat, shaum, dan haji, tapi juga fiqh yang menjelaskan permasalahan politik, kenegaraan, perundang-undangan, hukum-hukum pidana dan perdata, hubungan internasional, ekonomi, sosial, dan pendidikan dengan merujuk kepada induk kitab-kitab fiqih yang mu’tabarah. Sehingga pandangan umat terhadap agamanya sendiri semakin jelas dan umat pun tidak salah paham terhadap fiqih Islam ( lihat An Nabhaani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II/7). Sehingga setiap tabligh tidak hanya diisi dengan pesan-pesan moral yang menjenuhkan atau bahkan diisi dengan humor dan kata-kata yang tidak pantas untuk dikatakan hanya untuk menghindari kejenuhan jamaah. Wajib diingat para ulama bahwa Islam bukanlah tontonan, tapi tuntunan.
Ketiga, hendaknya ulama tidak hanya “bersembunyi” di dalam pesantren dan berkutat dengan kitab kuning yang dikarang ulama di zaman kemunduran Islam, disamping sesekali mengisi ceramah pada hari besar Islam. Namun, selain mengkaji kitab-kitab fiqih Islam — terutama kitab-kitab induk yang dikarang para ulama besar di masa kejayaan Islam — dan selalu berusaha mengaktualisasikannya, ulama harus memanfaatkan segala sarana dan kesempatan yang dimiliki untuk menjelaskan kepada umat, para pejabat, konglomerat, intelektual, ekonom, dan politikus pandangan Islam tentang berbagai persoalan yang sedang berkembang. Dengan demikian peran ulama yang diharapkan Basofi Sudirman untuk membekali seluruh lapisan masyarakat –termasuk politisi — dengan kekuatan iman (Republika, 4/7/’94) akan bisa terwujud. Disamping itu, umat tidak akan mudah terkecoh oleh arus globalisasi yang mengatas namakan modernisasi, demokrasi, kebebasan, dan hak asasi.
Itulah tugas dan tanggung jawab yang harus diemban para ulama waratsatul anbiya hari ini. Tugas berat beresiko besar. Namun menjanjikan pahala besar. Masyarakat akan diselamatkan dari kehancurannya dan akan menuju masyarakat yang sehat dunia akhirat. Sebaliknya, jika ulama tidak memikul beban tugasnya, atau bahkan ikut berpesta pora dengan kekuasaan yang berlumur kebatilan, kerusakan dan kehancuran masyarakat takkan terelakkan. Rasulullah saw. bersabda: “Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tapi apabila keduanya rusak, maka akan rusaklah masyarakat. Kedua golongan itu adalah ulama dan penguasa ” (HR. Abu Nu’aim).
Partai Politik Dalam Islam
Secara umum pengertian “partai” adalah sekumpulan orang yang terikat satu sama lain oleh sebuah ideologi dan aturan tertentu untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang akan dicapainya. Artinya, ideologi yang mendasari keberadaan dan gerak serta peran partai itulah yang akan menentukan jenis dan warna partai tersebut dalam sebuah masyarakat. Karenanya, ketika berbincang tentang partai politik Islam maka partai tersebut berarti menjadikan Islam sebagai landasan pembangun dan landasan gerak langkah serta landasan penentuan tujuan-tujuannya.
Adapun pengertian politik menurut Islam adalah pengaturan urusan/kepentingan rakyat di dalam dan di luar negeri. Secara praktis, pelaku sistem politik Islam adalah negara sedangkan aktivitas politik negara di dalam negeri adalah upaya penerapan hukum-hukum Islam atas seluruh warga negara. Sedangkan aktivitas politik luar negeri adalah upaya penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam melaksanakan aktivitas politik penguasa mendapat pengawasan dari seluruh rakyat; baik sebagai individu maupun dalam wujud sebuah kelompok atau partai.
Islam sebagai sebuah pandangan hidup yang menyeluruh telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; baik sebagai pribadi, keluarga, jamaah (kelompok) dan masyarakat. Peran dan posisi bagian masyarakat dalam Islam telah ditentukan dengan rinci dan tegas. Termasuk dalam hal ini keberadaan partai politik.
Dengan memahami seluruh pengertian tadi, maka partai politik Islam merupakan partai yang melaksanakan berbagai tugas yang dibebankan Islam kepada mereka. Tugas tersebut adalah tugas amar ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi/meluruskan tingkah laku pemerintah dan aparatnya. Dengan kata lain, pengertian partai politik dalam konteks kehidupan Islam adalah sekumpulan orang yang membentuk suatu kelompok atau jamaah (partai) yang berdiri atas dasar ideologi Islam dengan aktivitas dakwah kepada al khoir (Islam) dan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Keberadaan dan peran partai politik itu sendiri beserta tugasnya bertolak dari seruan Allah SWT:
“(Dan) Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (yang akan masuk surga).” (QS. Ali Imran:104).
Syekh An-Nabhaniy dalam kitab Muqaddimmah Dustur memberikan penjelasan tentang ayat di atas bahwa Allah SWT sungguh telah memerintahkan kaum muslimin untuk membentuk kelompok/jamaah/ partai yang melakukan tugas untuk mengemban dakwah kepada al khair (Al-Islam) serta melakukan aktivias amar ma’ruf nahi munkar.
Kata umat pada ayat di atas adalah bermakna untuk jamaah yang khusus (tertentu) bukan jamaah secara umum. Manusia atau kaum muslimin sendiri sudah berarti sebuah jamaah. Kata “Umat” pada ayat tersebut lebih khusus dari jama’ah (umat Islam sebagai jamaah). Ia merupakan jama’ah yang terbentuk dari individu-individu yang memiliki ikatan yang menyatukan mereka, dimana dengan ikatan tersebut mereka menjadi sebuah kelompok yang bersatu dan sebagai satu kesatuan, dan mereka tetap seperti itu. (Lihat An-Nabahaniy dalam Muqaddimmah Dustur hal: 98 ).
Adapun dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, maka harus dipahami bahwa perintah ini bersifat umum, yaitu beramar ma’ruf nahi munkar kepada semua golongan manusia. Hanya saja, beramar ma’ruf nahi munkar kepada para penguasa merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang sangat diutamakan dibanding kepada yang lainnya. Karena selain pemerintah merupakan pelaksana praktis kebijakan politik dalam negeri dan luar negeri, namun pemerintah juga sangat menentukan segala hal yang berlaku di masyarakat. Karenanya, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi (muhasabah) kepada penguasa merupakan aktivitas yang lebih utama dibanding aktivitas amar ma’ruf kepada yang lainnya. Harus juga dipahami, karena aktivitas pemerintah adalah aktivitas politik, maka jamaah/partai yang akan menasehati dan mengoreksi pemerintah haruslah memahami dan senantiasa bergelut dengan aktivitas politik. Di sinilah posisi dan peran pokok sebuah partai politik Islam.
Pengertian ini juga dipakai oleh Muhammad Abduh dalam tafsirnya Al-Manar mengenai QS Ali Imran: 104. Beliau menyatakan dalam tafsirnya tentang ayat ini sebagai berikut: “Dan yang diseru dengan perintah ini adalah jamaah orang-orang mukmin secara keseluruhan. Mereka adalah orang-orang yang terbebani kewajiban untuk memilih umat yang akan melakukan kewajiban ini. Di sini ada dua hal, salah satunya wajib bagi semua kaum muslimin. Yang kedua bagi umat (kelompok) yang mereka pilih untuk berdakwah. Makna ini tidak bisa dipahami dengan tepat kecuali dengan memahami kata umat. Makna umat tersebut bukan jama’ah sebagaimana yang banyak disangka orang. Umat tersebut adalah lebih khusus ketimbang jama’ah. Maka umat dalam hal ini merupakan jama’ah yang khusus dibentuk dari individu-individu yang mereka memiliki hubungan yang dapat menyatukan mereka dan merupakan kesatuan yang menyatukan mereka sebagai anggota dalam sebuah bangunan manusia.” (Lihat Haditsushiyaam, hal; 10-13).
Sedang Abdul Qaddim Zallum dalam kitab Ta’rif mengomentari bahwa bentuk perintah untuk membentuk jama’ah terpadu (partai politik) dalam ayat di atas memang sekedar menunjukkan adanya thalab/ajakan (dari Allah). Namun demikian, terdapat banyak qarinah (indikasi) lain yang menunjukkan bahwa ajakan tersebut adalah suatu keharusan (wajib). Sehingga kegiatan yang telah ditentukan oleh ayat tadi dilaksanakan oleh kelompok terpadu tersebut, yakni dakwah kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Salah satu qarinah tersebut adalah hadist Rosulullah SAW:
“Demi Dzat yang diriku berada di tanganNya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu) melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisiNya yang akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdo’a, maka (do’a itu) tidak akan dikabulkan.” (Sunan Tirmidzi No.2259).
Jelaslah bagi kita tentang wajibnya keberadaan partai politik yang bekerja untuk Islam, yaitu dengan syarat:
1. Partai itu harus dari kalangan (beranggotakan) kaum muslimin saja. Dipahami dari lafadz (minkum) yaitu sebagian dari kalian (kaum muslimin) pada ayat tadi.
2. Partai Islam haruslah menjadikan aqidah Islam sebagai dasar keberadaannya dan menjadikan syariat Islam sebagai pangkal tolak dari hukum yang dijadikan pegangannnya.
3. Partai itu beraktivitas mengajak kepada kebaikan. (yad’una ilal Khair). Dalam tafsir Jalalain “mengajak kepada al khoir” berarti mengajak kepada dinul Islam.
4. Partai ini harus beraktivitas menyeru kepada yang ma’ruf (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syariat). Bahkan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar inilah bagian terpenting dari keberadaan partai politik tersebut dalam masyarakat Islam, yaitu mengawasi para penguasa (‘muhasabah lil Hukam’) serta menyampaikan nasehat kepadanya apabila dalam aktivitas pemerintahannya terdapat penyimpangan dan penyelewengan terhadap syariat Islam (misalnya bersikap zhalim, fasik dan lain-lain). Dan semua ini merupakan kegiatan politik bahkan bagian yang teramat penting dan menjadi ciri utama dari kegiatan partai-partai politik dalam Islam.
Wajib Mengoreksi Penguasa
Secara lebih khusus, partai politik dalam masyarakat Islam didirikan oleh kaum muslimin sebagai perwujudan hak mereka dengan tujuan utama mengoreksi para penguasa dan juga sebagai sarana untuk mendidik umat sehingga mampu menjadi penguasa (Lihat An-Nabhaniy, Muqaddimah Dustur). Dengan demikian aktivitas mengoreksi penguasa dan menasehatinya adalah aktivitas yang vital bagi sebuah partai politik. Bahkan dalam hal ini Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan muhasabah kepada penguasa, yaitu sewaktu penguasa telah mengingkari kewajiban-kewajiban mereka kepada rakyat dalam hal pemeliharaan urusan rakyat, seperti jaminan kebutuhan dasar, jaminan sosial, dan sebagainya. Atau sewaktu penguasa mengambil hak-hak rakyat seperti hak rakyat dari harta pemilikan umum — barang tambang, laut dan sebaginya — dan apabila penguasa mulai menyimpang dari hukum-hukum syara sewaktu menjalankan roda pemerintahan (Nizhomul hukmi fil Islam, An-Nabhaniy, hal. 241). Kewajiban muhasabah kepada penguasa ini demikian jelas dikarenakan sekian ayat (QS : Ali Imran : 104, At-Taubah: 71, Al-Anfaal : 25) dan sekian hadits telah memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan aktivitas ini dihubungkan dengan kadar keimanan seseorang sebagaimana sabda Rasululllah Saw. :
“Barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran didepan matanya maka rubahlah dengan tangan nya (kekuasaan). Apabila dia tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya. Apabila dia tidak mampu juga maka rubahlah dengan hatinya (mengingkari perbuatan tersebut/tidak ridlo dengan perbuatan itu). Dan yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.” (Al-Hadist).
Pendirian partai politik dalam masyarakat Islam juga tidak memerlukan izin. Hal ini dikarenakan umat memahami bahwa keberadaan partai politik adalah fardhu bagi mereka dan tidak dibatasi jumlahnya mengingat lafadznya adalah (ummah) yang berarti tidak harus satu, dua atau hanya tiga saja. Melainkan boleh lebih dari satu. Ini diperjelas dengan balasan bagi orang-orang yang menggabungkan dirinya atau membentuk partai politik dengan sebutan “Merekalah orang-orang yang beruntung”. Ini berarti jamak atau lebih dari satu partai. Hanya saja seperti yang sudah dijelaskan, hanya partai politik yang bekerja untuk Islamlah yang dibolehkan berdiri dalam masyarakat Islam. Sedang yang berdiri dengan aktivitas bukan untuk Islam semisal untuk mengembangkan paham Komunisme-kapitalisme-fasisme-demokrasi dan rasialisme sudah barang tentu tidak diperkenankan ada.
Demikianlah uraian ringkas tentang fakta posisi dan peran partai politik dalam Islam yang keberadaannya merupakan bagian yang tidak kalah penting dari umat itu sendiri. Maka aktivitas partai politik (muhasabah lil hukam) bagi kaum muslimin dimasa kajayaannya sudah merupakan tradisi demi kelangsungan hidup Islam itu sendiri. Apabila dalam kondisi saat ini kebiasaan dan tradisi itu hilang tidak lain karena umat belum menyadari pentingnya semua itu. Insya Allah dengan meningkatnya pemahaman dan kesadaran umat terhadap ajaran-ajaran Islam, akan mendorong umat untuk bentindak sesuai dengan aturan syariah termasuk dalam membentuk suatu partai, kelompok maupun yang lainnya.
Created By : Abdul Hafidz AR
Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP UR
Berdomisili di Pekanbaru
kritik dan saran bisa disampaikan ke :
bmalay48@yahoo.com

Biografi Hidayat Nurwahid


Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hidayat Nur Wahid berasal dari keluarga pemuka agama. Kakeknya dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya H. Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul Ulama, juga merupakan pengurus Muhammadiyah. Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah aktivis Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah.

Hidayat Nur Wahid adalah sulung dari tujuh bersaudara. Nama Hidayat Nur Wahid sendiri adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak sulung ini kelak menjadi petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya bersyukur karena menilai Hidayat Nur Wahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi adik-adiknya. Lebih dari itu, Hidayat Nur Wahid bahkan kini menjadi pelopor hidup sederhana di kalangan pejabat di Indonesia.
Keluarga Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Usai lulus Sekolah Dasar, Hidayat Nur Wahid melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebagaimana diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir bebas selain berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.” Semboyan ini tampak pada kehidupan Hidayat Nur Wahid hingga beranjak dewasa sampai kini yang menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika moral dalam berpolitik dan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum masuk Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan oleh salah seorang alumni Gontor. Menurut Hidayat, apa yang tidak ia dapatkan di Gontor, justru ia dapatkan di Ngabar.
Di Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid termasuk siswa yang cerdas dan menonjol. Ia duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi. Di kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama atau kedua. Menurut Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian menjadi rekannya di Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat Nur Wahid adalah satu-satunya dari 132 santri pada 1978 yang mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes.
Kecerdasan Hidayat Nur Wahid memang telah tampak ketika masih kanak-kanak. Di SD Kebon Dalem Kidul, ia selalu mendapat predikat juara. Sebagai anak guru, Hidayat mendapatkan pendidikan yang baik. ia sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Hidayat kecil juga gemar membaca. Selain komik Ko Ping Ho kegemarannya, ia juga membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya dan keluarga. Kebiasaan dari kecil itu masih berlanjut sampai sekarang. Kini di ruang perpustakaannya, ada lebih dari lima lemari besar penuh buku, baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.
Selama menempuh pendidikan di Gontor, Hidayat Nur Wahid mengikuti banyak kegiatan. Selain kursus bahasa Arab dan Inggris, Hidayat juga mengikuti kajian sastra, hingga kursus menjahit. Hidayat Nur Wahid juga diangkat menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika duduk di kelas V Pondok Gontor. Hidayat Nur Wahid tercatat pula sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).
Selepas dari Gontor tahun 1978, Hidayat Nur Wahid sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada jasa seorang mantri di PKU Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Namun akhirnya ia mendaftar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus ini Hidayat Nur Wahid sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setahun kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas Islam Madinah dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat Nur Wahid pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Hidayat Nur Wahid menyelesaikan program S-1 dengan predikat cumlaude pada tahun 1983 dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahud min Islam al-Ansar. Selesai S-1, awalnya ia tidak berpikir untuk melanjutkan S-2, hingga ia mendapatkan kabar bahwa namanya tercantum dalam nominasi untuk mengikuti ujian S-2. Pada hari terakhir ujian itulah Hidayat mengikuti tes dan akhirnya lulus. Hidayat menamatkan program S-2 pada tahun 1987, dengan tesis berjudul al-Batiniyyun fî Indonesia, Ard wa Dirasah.
Selepas S-2 sebetulnya Hidayat Nur Wahid sudah ingin kembali ke tanah air, namun kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan salah seorang dosennya. Pada 1992, Hidayat Nur Wahid menamatkan studi S-3 dengan judul disertasi Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq wa Dirasah.
Melihat seluruh riwayat pendidikan akademisnya, kecuali SDN Kebon Dalem Kidul, tampak Hidayat Nur Wahid tercermin sebagai seorang ahli dalam agama Islam.
Setelah ditinggal oleh istrinya, Kastrian Indriawati yang wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat Nur Wahid menikah lagi melalui proses ta’aruf, dengan Diana Abbas Thalib, seorang dokter dan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Aliyah, Pondok Indah, Jakarta.

Aktivitas Sosial dan Politik
Sebagai bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat memandang Islam sebagai sebuah konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi. Paradigma keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
Gerakan Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di Timur tengah, terutama al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.
Aktivis gerakan ini secara khusyu’ mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air. Gerakan ini mendapat kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur Tengah mulai tahun 1988, seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim.
Gerakan Tarbiyah inilah yang pada 1998 melahirkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai Keadilan (PK).
Selepas pulang ke tanah air setelah merampungkan program master dan doktornya, Hidayat Nur Wahid melibatkan diri dalam Yayasan Alumni Timur Tengah dan mendirikan yayasan-yayasan alumni Timur Tengah. Ia juga mendirikan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Yayasan al-Haramain sebagai bentuk baktinya terhadap pesantren. Yayasan al-Haramain ini pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat dimana ia menjabat sebagai dewan redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan sebagai counter terhadap Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema pembaharuan Islam Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian, sebagai seorang Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh rasa hormat kepada Cak Nur.
Dalam pandangannya yang objektif, Hidayat Nur Wahid memandang Cak Nur sebagai sosok yang ingin menghadirkan Islam dan Umat Islam yang bisa diterima secara elegan oleh semua masyarakat dunia, dimana Islam ditempatkan pada tempat yang tinggi, menginternasional, dan universal. Islam menjadi sesuatu yang membawa pada pencerahan, bukan Islam yang disalahpahami, anti budaya, dan sejenisnya. Meskipun pada beberapa hal, Hidayat mengakui bahwa merupakan hal yang wajar jika ia tidak selamanya sependapat dengan Cak Nur.
Hidayat Nur Wahid juga pernah menjabat sebagai Ketua Forum Da’wah Indonesia, peneliti di Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum (LKFKH) al-Khairat, dan juga sebagai salah satu pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.
Dalam bidang akademis, sebagai bentuk pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan, Hidayat Nur Wahid juga melibatkan diri mengajar di sejumlah Perguruan Tinggi. Ia menjadi dosen pada Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam, dan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid juga menjabat sebagai dosen pasca sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen pasca sarjana di Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik, Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan politik,[8] untuk memimpin demonstrasi terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA) pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke Irak.
Sebelumnya Pada tahun 2000, atas permintaan dari Nurchalish Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai (FID), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para aktivis, akademisi, dan tokoh lintas agama seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Frans Magnes Suseno, Bara Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan Mar’ie Muhamad.
Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi pada waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal, di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan Filipina. Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan pembunuhan tersebut dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia khawatir memang ada skenario pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh agar terjadi konflik horizontal tersebut.
Sebagai seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga didasari oleh perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam surah al-Ma’idah/5:2 yakni “wa ta‘awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wa la ta‘awanu ‘ala al-itsmi wa al‘-udwan” (“dan tolong-menolongah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.
Dalam konteks politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000, menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.
Sebelum menjabat sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal Gerakan Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid dikenal sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan pada 20 Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi presiden partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum tepat.
Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang sangat segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi Azra membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif.[11] Padahal tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu. Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta,
“Kalau basis organisasi bersifat elitis-eksklusif, maka basis sosial bersifat massif dan terbuka. Kalau basis organisasi berorientasi pada kualitas, maka basis sosial berorientasi kuantitas. Kalau organisasi meretas jalan, maka masyarakatlah yang akan melaluinya. Kalau para pemimpin melihat ke depan dengan pikiran-pikirannya yang jauh, maka massa menjangkau ke depan dengan tangan-tangannya yang banyak. Kalau pemimpin yang hebat mendapatkan dukungan publik yang luas, maka akan terbentuklah sebuah kekuatan dakwah yang dahsyat…begitulah menciptakan sinergi antara kualitas dengan kuantitas, keduanya mempunyai peran yang sama srategisnya.”
Keharusan melebarkan “sayap” pada segmentasi yang lebih luas ini pun disadari oleh Hidayat Nur Wahid. Dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan, Hidayat menyatakan bahwa jabatan itu sejatinya merupakan amanah yang tidak ringan. Hidayat Nur Wahid kemudian merinci tantangan-tantangan yang akan dihadapi partainya tersebut,
Pertama, masalah pencitraan partai yang sebagaimana diulas diatas, masih terbatas pada segmen tertentu. Menurut Hidayat, Meskipun citra ini positif karena memperjelas segmentasi pendukung, namun dalam konteks dakwah hal ini menjadi tidak tepat karena dasar dakwah adalah seruan pada seluruh segmen masyarakat apapun kondisinya. Menurut Hidayat, pencitraan tadi akan menghambat pelebaran dakwah karena nilai-nilai dakwah Partai Keadilan akan terkungkung pada segmen-segmen yang terbatas.
Kedua, faktor konsolidasi internal. Konsolidasi internal harus terus mengalami penguatan meskipun dalam tubuh PK sudah cukup solid.
Ketiga, adalah faktor komunikasi dan sosialisasi massa. Hidayat Nur Wahid berpandangan bahwa untuk meyakinkan masyarakat bahwa Partai Keadilan tidak mengalami stagnasi setelah ditinggal oleh Nur Mahmudi, maka jalinan komunikasi dengan media massa dan kalangan yang memiliki akses massa harus lebih mengalami peningkatan. Hidayat Nur Wahid paham bahwa peran media massa sangat besar dalam pembentukan opini yang menentukan aspirasi politik publik.
Keempat, Partai Keadilan harus dapat memenuhi pandangan masyarakat yang menuntut bahwa Partai Keadilan haruslah menjadi partai besar. Sehingga pengkaderan harus dilakukan secara massif dan terus menerus dengan target dominannya nilai-nilai dakwah di masyarakat.
Kelima, adalah masalah finansial, bagaimanapun Hidayat memahami bahwa kegiatan partai adalah kegiatan yang bersifat massal dan harus terprogram secara professional, sehingga diperlukan adanya terobosan agar kebutuhan finansial partai dapat terpenuhi secara mandiri.
Pada tahun 2003, Hidayat Nur Wahid kemudian memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebetulnya merupakan metamorfosa dari Partai Keadilan. Di bawah kepemimpinannya, meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, Partai Keadilan Sejahtera berhasil melipatgandakan suaranya pada Pemilu 2004 sebesar 600%. Partai Keadilan yang pada Pemilu 1999 hanya memperoleh 1,4% suara nasional, meraih 7,34% pada pemilu 2004. Untuk partai yang baru dideklarasikan pada tahun 2003, perolehan tersebut merupakan sebuah prestasi yang menurut Saiful Mujani,[14] amat mengesankan. PKS bahkan mampu mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai yang lebih awal berdiri, dan dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais.
Lompatan suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah mengalahkan Sucipto dengan selisih hanya dua suara dalam pemilihan yang berlangsung secara demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR tanggal 6 Oktober 2004. Setelah memimpin MPR itulah nama Hidayat Nur Wahid dikenal luas sebagai tokoh yang sederhana dan sebagai ikon anti KKN.
Menurut Azyumardi Azra fenomena kemunculan Hidayat Nur Wahid dan semua kiprah PKS diatas merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai mainstreaming of Islamic politics, pengarusutamaan politik Islam, sebagaimana dipahami dan ditampilkan PKS.
Dalam pengarusutamaan ini Hidayat Nur Wahid semakin ke tengah. Ia tidak lagi terpingir dan terpencil dari hiruk pikuk politik yang berlangsung. Sebaliknya, ia menjadi aktor dan pelaku yang cukup menentukan.
Hidayat Nur Wahid memang tidak menghasilkan banyak karya tulis, namun aktivitas sosial dan terutama politiknya yang mencerminkan ketinggian moral, telah menuai banyak simpati dan pujian.

Manajemen Aksi....


MANAJEMEN AKSI (DEMONSTRASI)

“Mahasiswa adalah aset umat. Ia bersifat elitis dan eksklusif. Jumlahnya hanya 2 % dari penduduk Indonesia yang 200 juta jiwa. Mahasiswa aktivis lebih elitis lagi, mungkin hanya ada 1 mahasiswa aktivis di antara 10 mahasiswa. Namun, agenda yang mereka perjuangkan sangat populis, dan realistis. Mahasiswa-lah yang bisa membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap rezim tiran. Mahasiswa-lah yang bisa mengawal reformasi hingga ke titik tujuan. Rakyat menaruh harapan atas kekuatan intelektual dan kekuatan aksi yang mahasiswa miliki.Jadi, pahami dirimu dan sekitarmu, dan mari kita bergerak lagi ! Reformasi belum usai !”
Dengan kekuatan intelektual di atas rata-rata masyarakat awam, mahasiswa memiliki kemudahan untuk mengakses berbagai informasi wacana dan peristiwa dalam lingkup lokal hingga internasional. Begitu juga dengan kemudahan akses literatur ilmiah dan gerakan-gerakan pemikiran, yang pada tujuan akhirnya akan menentukan ideologi atau sistem hidup yang akan dijalaninya. Buku yang ia baca, informasi yang ia terima, tokoh-tokoh yang ia ajak bicara, adalah beberapa faktor utama yang kelak sangat berpengaruh terhadap idealisme hidupnya.Selain kekuatan intelektual yang identik dengan aktivitas ilmiah, mahasiswa juga memiliki kewajiban untuk menguatkan potensi kepekaan sosial politiknya. Disebut kepekaan sosial karena mahasiswa pada dasarnya adalah bagian dari rakyat. Apapun yang terjadi pada rakyat maka mahasiswa akan turut juga merasakannya. Kenaikan BBM, harga bahan pokok, listrik, dan air misalnya akan memberi ekses terhadap aktivitas kuliah. Disebut kepekaan politik, karena gejolak sosial yang terjadi umumnya selalu merupakan hasil side effect dari aktivitas politik, semisal disahkannya suatu UU. UU Ketenagakerjaan misalnya akan mempengaruhi kesejahteraan dan taraf hidup para buruh.Setelah cerdas secara profesi keilmuan dan cerdas sosial politik, maka sebagai gerakan ekstraparlementer mahasiswa memiliki kewajiban moral untuk mengimplementasikan pengetahuannya itu dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Atau dengan kata lain menyuarakan kepentingan kebenaran dan rakyat. Berbagai metode dapat dilakukan. Dari bentuk pendampingan, advokasi, public hearing, audiensi dengan pemerintah dan legislatif, hingga demonstrasi (aksi). Demonstrasi adalah cara paling efektif dalam menyuarakan kebenaran, khususnya jika dilaksanakan pada rezim yang antidemokratis dan tiran. Dalam makalah ini, akan dibahas sekelumit tentang manjamen demonstrasi atau aksi, yang selanjutnya akan disebut dengan MoA (Management of Action). Pengetahuan akan MoA ini menjadi penting agar niatan yang benar itu dapat mencapai hasil optimal karena dilakukan dengan cara yang benar pula. MANAJEMEN AKSIPengertianAksi (demontrasi) adalah suatu model pernyataan sikap, penyuaraan pendapat, opini, atau tuntutan yang dilakukan dengan jumlah massa terntentu dan dengan teknik tertentu agar mendapat perhatian dari pihak yang dituju tanpa menggunakan mekanisme konvensional (birokrasi). Demonstrasi juga bertujuan untuk menekan pembuat keputusan untuk melakukan sesuatu.

Latar Belakang dan Tujuan Aksi umumnya dilatarbelakangi oleh matinya jalur penyampaian aspirasi atau buntunya metode dialog.. Dalam trias politika, aspirasi rakyat diwakili oleh anggota legislatif. Namun dalam kondisi pemerintahan yang korup, para legislator tak dapat memainkan perannya, sehingga rakyat langsung mengambil ‘jalan pintas’ dalam bentuk aksi. Aksi juga dilakukan dalam rangka pembentukan opini atau mencari dukungan publik. Dengan demikian isu yang digulirkan harapannya dapat menjadi snowball. Dari isu mahasiswa menjadi isu masyarakat kebanyakan, seperti dalam kasus aksi menuntut mundur Soeharto.

Landasan Hukum Aksi adalah hak bahkan dalam situasi tertentu dapat menjadi kewajiban. Ia dilindungi oleh UU positif. Selain Declaration of Human Right (freedom of speech), hak aksi juga dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28 beserta amandemennya. Secara lebih spesifik, aksi ini kemudian diatur dengan adanya UU No. 9/1998 tentang Mekanisme Penyampaian Pendapat di Muka Umum. UU ini mengharuskan panitia aksi harus memberikan pemberitahuan kepada pihak kepolisian setidaknya 3 hari menjelang hari H. Ketentuan lainnya adalah, didalam surat pemberitahuan itu harus ada nama penanggung jawab aksi, waktu pelaksanaan, rute yangh dilewati, isu yang dibawa, jumlah massa, dan bentuk aksi. Selain itu ada juga larangan untuk melakukan aksi pada hari-hari tertntu dan tempat-tempat tertentu. Dalam pandangan aktivis, UU ini pada awal pengesahannya dicurigai sebagai alat untuk mengibiri suara kritis mahasiswa dan rakyat. Dan pada perkembangannya, UU inilah yang digunakan oleh rezim berkuasa via aparat kepolisian untuk mematikan suara oposan, dengan banyak menyeret para aktivis ke penjara.
Kode EtikUntuk menjaga konsistensi gerakan, beberapa elemen gerakan mahasiswa memiliki kode etik aksi. Kode etik ini pula yang menjadi faktor pembeda aksi yang satu dengan aksi yang lainnya.Di KAMMI misalnya, kode etiknya adalah memulai dan menutup aksi dengan doa, tidak membaurkan peserta aksi putra dengan putri, dan tidak mencemooh seseorang dari cacat fisiknya. Faktor pembeda lainnya adalah lirik lagu-lagu perjuangan dan kata-kata pekik teriakan.
MEKANISME LAHIRNYA KEPUTUSAN AKSIKeputusan aksi sebaiknya didiskusikan secara matang analisis SWOT-nya. Organisasi intra kampus mempunyai mekanisme yang berbeda namun hampir sama dengan mahasiswa ekstra. Di ekstra jalur pengambilan keputusan lebih pendek sehingga keputusan aksi dapat lebih cepat dieksekusi. Secara garis besar mekanisme lahirnya keputusan aksi adalah sbb :

  1. Diskusi awal (Tim/Dept. Khusus : bidang Sospol), dteruskan ke :
  2. Diskusi Lanjutan (pelibatan kader, (unsur UKM), menghadirkan pakar, penerbitan Pers Release), lalu
  3. Pembentukan Tim Teknis Aksi
  4. Aksi di lapangan
MERANCANG AKSI
Dalam merancang aksi, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : planning aksi, perangkat aksi, pelaksanaan, dan kegiatan paska-aksi.
Planning Aksi Dalam tahap perencanaan aksi, hal urgen yang perlu diperhatikan adalah :
  1. Tema / Grand Issue. Pilihlah tema atau isu yang sedang hangat menjadi bahan pembicaraan (up to date) atau relevan atau sesuai dengan kebutuhan organisasi yang bersangkutan. Kemudian fokuskan, agar informasi atau opini yang hendak dibangun tidak bias.
  2. TargetSusun target. Baik target teknis seperti pencapaian jumlah massa dan blow up media, dan target esensi seperti isu tuntutan aksi. Begitu juga target siapa yang pihak yang hendak dituju.
  3. Skenario. Seperti halnya film, aksi butuh skenario, yang menjadi acuan bergeraknya aksi. Skenario ini mencakup rute, tokoh orator, happening art, dan acara lainnya. Sebaiknya skenario disiapkan lebih dari satu. Jika ada sesuatu hal di lapangan tak memungkinkan berjalannya sebuah skenario, dapat diganti dengan skenario lain (plan B).
    MassaDalam aksi yang mengandalkan massa, strategi penggalangan massa menjadi penting, demikian juga dengan cara mengendalikan massa jika massa berjumlah besar.
  4. PemberitahuanTergantung pada kebutuhan. Jika kita memutuskan untuk menulis pemberitahuan, maka lakukan sesuai dengan UU No. 9/1998. Begitu juga dengan pemberitahuan kepada media massa (release awal) agar kelak mereka dapat meliput kita.
    media interestAksi yang ‘menarik’ akan disukai oleh media. Karena itu perlu diperhatikan sebuah momen yang khusus didesain untuk konsumsi jurnalis foto, selain press release untuk jurnalis berita.
  5. Format Format atau bentuk aksi adalah pilihan dari banyak bentuk aksi. Pilihannya ada dua, format kekerasan atau nirkekerasan. Sebagai ‘penjaga gawang’ gerakan moral, maka seyogyanya aksi mahasiswa bersifat nirkekerasan. Aksi nirkekerasan ini sangat bervariatif sekali. Dimulai dari aksi diam (bisu), orasi, happening art, aksi topeng, mmogok makan, hingga ke blokade, pengepungan, dan boikot.
Perangkat Aksi Perangkat aksi adalah person-person yang terlibat dalam suksesnya sebuah aksi. Mereka diantaranya adalah :
  1. KorlapKoordinator Lapangan adalah pemegang komando ketika aksi sedang berjalan. Peserta aksi harus mentaati setiap arahan dari korlap. Korlap memperoleh masukan informasi dari perangkat lain yang akan digunakannya untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Korlap juga yang bertugas menjaga stamina massa agar tidak loyo dan tetap konsentrasi ke aksi. Korlap bukanlah amanah instant. Ia diperoleh dari proses jangka panjang. Korlap adalah orang paling mengerti tentang isu yang sedang diperjuangkan, sehingga wawasan pengetahuannya dapat dikatakan lebih banyak dari yang lainnya. Korlap dapat juga berorasi.
  2. OratorTerkadang diperlukan orator khusus selain korlap, khususnya pada aksi aliansi atau aksi yang melibatkan tokoh. Para orator ini menyampaikan orasi berdasarkan isu yang telah disepakati bersama. Bobot suatu orasi ditentukan oleh susunan kalimat, data up to date, dan kualitas pernyataan sikap. - AgitatorAgitator adalah pembangkit semangat massa dengan pekik teriakan disela-sela orasi korlap dan orator. Ia juga membantu korlap untuk menjaga stamina massa dengan memimpin lagu dan yel-yel.
  3. NegosiatorTerkadang diperlukan person yang khusus bertugas untuk melakukan negosiasi. Negosiasi ini dilakukan kepada aparat polisi atau pihak-pihak yang ingin dituju jika aksi di-setting audiensi.
  4. HumasTim Humas adalah salah satu elemen penting aksi. Tim humas bertanggung jawab dalam menjembatani aksi kepada para jurnalis. Mereka membuat pers release. Bobot Pers Release itu dibuat berdasarkan nilai-nilai jurnalistik. Disebut sukses jika media tidak bias memuat tuntutan atau opini yang hendak digulirkan oleh aksi.
  5. Security/borderTim ini bertugas menjaga keamanan peserta aksi. Mereka juga wajib untuk mengidentifikasi para penyusup atau aparat yang hendak memprovokasi agar aksi berakhir chaos. Tim ini memiliki bahasa tersendiri yang hanya diketahui oleh sedikit orang dari peserta aksi.
  6. DokumenterTim ini memback-up tim humas. Tetapi inti tugasnya adalah mendokumentasi aksi dari awal hingga akhir serta membuat kronologis aksi. Dokumentasi ini dengan kamera, handycam ataupun notes. Data ini akan digunakan sebagai bukti otentik jika aksi mengalami kekerasan dari aparat atau massa lain.
  7. MedikTugas ini memang spesifik bagi mereka yang menguasai ilmu medis. Umumnya adalah mahasiswa kedokteran atau mereka yang pernah terlibat dalam aktivitas kepalangmerahan atau bulan sabit merah. Tim ini memberikan pertolongan pertama kepada peserta aski yang mengalami cidera.- LogistikDalam aksi yang disetting lama dan melelahkan. Tim logistik bertugas untuk menyediakan sarana untuk membugarkan peserta aksi seperti air minum, snack dan sound system. Terkadang, mereka juga membuat dan mendesain kertas tuntutan atau karikatur.
  8. Tim kreatifTim ini memiliki kewenangan untuk mendesain sebuah atraksi seni atau instalasi sesuai amanat hasil musyawarah.
    Pelaksanaan dan Pasca Aksi Saat massa telah terkumpul di tempat yang telah ditentukan, maka korlap sebaiknya tidak langsung memberangkatkan peserta aksi sebelum ada taujih (nasehat) dan doa. Selain itu perlu juga adanya pemanasan (warming up) dengan cara melatih yel-yel atau orasi untuk pencerdasan peserta aksi. Warming-up ini bertujuan untuk mensolidasi peserta aksi. Setelah kompak, solid, dan cerdas barulah aksi dimulai.Saat aksi, peserta wajib menghormati komnado korlap dan turut menjaga keamanan aksi hingga aksi usai. Jika aksi disetting serius atau aksi bisu maka peserta harus menjauhkan dari kegiatan senda gurau dan ketidakseriusan. Seusai aksi, maka peserta menutupnya dengan doa. Evaluasi juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas aksi berikutnya. Tim humas juga memonitoring media untuk memantau keberhasilan blow-up media dan tingkat ke-bias-an tuntutan.
TIPS DAN TRIKS
  1. Angle foto Foto dapat berbicara lebih banyak dari kata-kata. Maka desain aksi yang menyediakan angle foto yang baik akan membuat aksi lebih mudah ter-blow up. Misalnya: aksi LSM Pro Fauna yang membuat balon kura-kura raksasa dalam menentang eksploitasi kura-kura sebagai komoditas.
  2. Kalimat posterKalimat poster biasanya juga menjadi incaran fotografer. Pilihlah kalimat yang cerdas namun tetap mencerminkan akhlak seorang mahasiswa. Unik dan kreatif adalah kuncinya. Misal : IMF = International Monster Fund.
  3. Uniform Keseragaman pakaian peserta aksi juga dapat menarik perhatian. Pakaian putih-putih, hitam-hitam atau mengenakan pakaian seperti orang utan untuk aksi mendukung keberlangsungan orang utan.
  4. Propaganda Propaganda dibuat untuk mencerdaskan masyarakat di sekitar aksi agar mereka mendukung aksi. Jika aksi dipusat keramaian, maka selebaran propaganda dapat menjadi bacaan yang mengusik perhatian.
  5. Pers release Selain data 5W+1H, pers release juga disusun dengan kalimat baik dan sudah sesuai dengan bahasa koran, sehingga redaktur tidak banyak mengedit. Adanya tambahan data dan angka dapat menambah bobot release.
  6. Yel/laguCiptakanlah yel-yel yang khas dan mudah diingat. Lagu bisa diperoleh dengan mengubah lirik dari lagu yang populis. Yel dan Lagu akan memelihara stamina massa.
  7. Symbolized Simbolisasi perlu dilakukan untuk mencuri perhatian media jika massa aksi tidak terlalu banyak. Misalnya : aksi membawa tikus ke kantor DPRD untuk menyindir anggota dewan yang tak ubahnya seperti tikus-tikus pengerat.
  8. Aliansi taktis Untuk memperkuat posisi tawar, aliansi kadang diperlukan. Aliansi didasarkan pada pertimbangan kesamaan ideologi, atau kesamaan isu , atau kesamaan metode. Jika aliansi ini adalah dari universitas, maka bendera masing-masing universitas wajib untuk ditonjolkan.
  9. Menghadapi wartawan. Jika jurnalis TV mewawancarai peserta aksi, sebaiknya peserta tersebut mengarahkannya kepada tim humas atau korlapnya agar jurnalis itu dpat mewawancarai person yang lebih valid dalam memberikan keterangan. Ketika di wawancara, demonstran yang efektif merancang pesannya supaya bisa disampaikan secara utuh dalam tempo 10 hingga 15 detik. Setelah pesan disampaikan secara singkat, padat, dan utuh - baru kemudian dilakukan elaborasi. Ini menjaga agar pesan utama secara utuh tetap bisa tersiar walaupun mungkin elaborasinya terpotong. Hal ini disebabkan karena spot berita TV sangat singkat, berbeda dengan media cetak yang dapat memuat banyak.
Berhadapan dengan wartawan, jauhilah sikap arogan, tampakkanlah sikap ramah dan bersahabat. Sikap arogan membuat wartawan menjaga jarak, bahkan pada titik puncaknya wadah asosiasi mereka akan memboikot setiap kegiatan aksi kita.
Beberapa pertanyaan dari wartawan yang bisa diantisipasi oleh setiap peserta aksi adalah:- Mengapa anda berada disini?
- Apa yang ingin anda capai?
- Apakah demonstrasi ini sungguh-sungguh merupakan solusi?

- Apa yang bisa dilakukan oleh khalayak untuk masalah yang anda perjuangkan?
So, Selamat Berjuang !Sampai Jumpa di jalanan !

Created By : Abdul Hafidz AR
Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP UR
Berdomisili di Pekanbaru
kritik dan saran bisa disampaikan ke :
bmalay48@yahoo.com

ARAH PERGERAKAN MANTAN MAHASISWA


SEPERTI APA PERJUANGAN MANTAN AKTIVIS MAHASISWA ??

Mantan mahasiswa mungkin itu salah satu sebutan buat para mahasiswa yang telah menjadi wisudawan dan wisudawati, dunia yang baru akan mereka masuki. Dunia seperti apa ?? apakah para mantan mahasiswa akan berhenti melakukan pergerakan setelah mereka jadi sarjana?? Itu semua akan menjadi sebuah pilihan dan tantangan yang berat untuk mereka tapi sangat disayangkan kalau pergerakan yang telah di bangun dengan tetesan keringat dan pengorbanan yang besar ditinggalkan begitu saja. Pergerakan seperti apa yang akan dilakukan oleh para mantan mahasiswa dan kemana arahnya..??

ARAH PERGERAKAN DAN SEPERTI APA ?

Arah perjuangan mahasiswa pasca wisuda tergantung dari apa yang ditempuh pada waktu ia kuliah. Mahasiswa aktivis selalu terjun kedunia politik praktis yang notabene menumbuhkan karirnya sebagai mahasiswa aktivis. Tetapi yang perlu disadari tidak semua mahasiswa aktivis terjung kedunia politik hal ini depengaruhi oleh faktor budaya dan lingkungan masyaraka disekitarnya. Dan kalaupun ada mahasiswa aktivis yang terjung kedunia politik praktis tidak lepas dari perjuangan untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan umum (umat). Peran aktivis hanya sebatas mencari ideologi oportunisme yang ujung- ujungnya kekuasaan dan keuntungan materialisme. Sehingga tidak heran kita melihat perkembangan ideologi kapitalisme begitu drastis. Aktivis (mantan mahasiswa) aktifitasnya dalam politik praktis membutuhkan wadah atau tempat untuk membangun wacana politiknya seperti LSM,Ornop, Parpol dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan terakhir “adakah” kontribusi yang diberikan oleh aktivis terhadap kehidupan masyarakat?.

Kalapun kita lihat dari istilah “politik praktis” sudah barang tentu para aktivis lebih menekankan untuk membangun masyarakat politik bukan civil society (masyarakat madani). Masyarakat politik adalah masyarakat yang lahir dari masyarakat alamiah yang mementingkan kebebasan dalam mencari dan merebut kekuasaan. Disini, beda dengan istilah civil society yang dimana masyarakat dirancang dalam keorganisasian yang akuntabel dalam kehidupan bernegara. Aktivis yang mengenyam dunia pendidikan ditingkat perguruan tinggi lebih tau akan pergolakan kehidupan masyarakat karena mereka mempunyai teori untuk memprediksikanya. Tetapi kenapa aktivis tidak mampu mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan permasalah (konflik) yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, jawabannya karena aktivis lebih membangun political behavior dalam tatanan masyarakat ketimbang social behavior.

Pada saat kuliah jiwa antusianisme aktivis dalam merespon permasalahan publik sangat berkobar bagaikan api. Teriakan dan gerakan aktivis sangat lantang bahkan ditakuti oleh para birokrasi. Tapi ketika keluar dari dunia kemahasiswaan suara aktivis hilang dan kalaupun ada hanya suara oportunisme. Aktivis telah dihegomoni oleh paradigmanya sendiri dan dari pihak elit politik. Yang akhirnya aktivis dijadikan alat oleh elit politik dalam mencari kekuasaan atau mempertahankannya. Lebih parah lagi,tidak jarang aktivis bersifat premanisme dalam perpolitikan yang rakus dengan jabatan dan kekuasaan yang tidak menghiraukan kata “tidak” bahkan “lawan”, segala cara ditempuh demi mencapai tujuan. Moral politik dijadikan hitam putih dalam retorika politik dan agama dijadikan landasan retorika politik “kotor”. Belum hilang dari ingatan kita sosok aktivis Akbar Tanjung yang terjebak dalam kasus korupsi, dan banyak aktivis-aktivis lain yang dijadikan sebagai refleksi betapa rusaknya moral aktivis pasca wisuda.

Menurut saya sangat sulit untuk menemukan aktivis sejati pasca wisuda yang gerakannya sesuai komitmen awal untuk membina masyarakat madani (civil society) dalam membangun bangsa. Aktivis juga manusia yang cenderung lemah dalam melawan politik dan akhirnya politik yang mengarahkan aktivis bukan aktivis yang mengarahkan politik. Ibnu khaldun pernah mensyinalirkan politik merupakan puncak syahwat manusia. Dimata masyarakat aktivis merupakan sosok intelektual yang akan mengarahkan roda perpolitikan dikanca publik. Aktivis masuk dirana-rana partai politik yang mencari jalan menuju kekuasaan dan pada kesempatan. yang sama aktivis menghegomoni masyarakat melalui keintelektualnya.

Produk dari perjuangan aktivis adalah nampaknya politisi- politisi hitam ditatanan lembaga negara terutama dalam lembaga legislatif. Maka tidak heran diera reformasi dalam tatanan lembaga negara Indonesia masih diwarnai oleh politisi- politisi hitam. Dialektika diatas merupakan fakta gerakan aktivis pasca wisuda. Pada hakekatnya perjuangan aktivis bersifat kontinu bukan hitam putih.Aktivis harus mampu membangun konsep masyarakat madani (civil society) untuk melawan depotisme negara.
 Semoga apa yang telah mereka bangun tidak hilang,karakter kritis,kejujuran dan idealisme mereka tidak hilang termakan lobi-lobi politik dan diskusi-diskusi dilematis yang syarat intrik dan skenario. Wallahu A'lam
Dikutip dari Berbagai Sumber
Created By : Abdul Hafidz AR
Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP UR
Berdomisili di Pekanbaru
kritik dan saran bisa disampaikan ke :
bmalay48@yahoo.com
085263905088

SEKALI BERARTI SESUDAH ITU MATI

Wiji Thukul: Sekali Berarti, Sudah Itu Mati

oleh ABD. HAFIDZ, AR
Kalau kita mau jujur, barangkali Wiji Thukul adalah satu-satunya penyair yang dengan lantang menyuarakan perlawanan terhadap sebuah rezim diktator Orde Baru. Hal ini tidak saja tampak dari aktivitasnya sebagai pelaku kebudayaan dalam Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) yang merupakan underbow Partai Rakyat Demokratik (PRD)—sebuah partai politik yang lahir, dibesarkan, dan berbasis anak-anak muda yang dipimpin oleh Budiman Sujatmiko—tetapi juga terekspresikan melalui sajak-sajaknya. Salah satu sajaknya yang terkenal, “Peringatan”, yang memberi kesan mendalam pada seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), Munir—yang juga meninggal karena diracun di atas peawat Garuda—menggoreskan kata-kata yang demikian berjiwa: hanya ada satu kata: lawan!
Meskipun Wiji Thukul diculik dan dilenyapkan oleh kaki tangan rezim Orde Baru karena puisi-puisinya serta aktivitasnya di dunia politik praktis, namun semangat perjuangan yang tercermin dalam sajak-sajaknya akan terus hidup. Karena demikianlah sunatullah (hukum alam) yang berlaku di dunia kepenyairan: kata-kata yang dilahirkan oleh penyair akan panjang usianya dibandingkan dengan penyairnya itu sendiri. Chairil Anwar pernah menciptakan sebuah konsep “hidup abadi” dengan mengatakan, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Namun, usia Chairil Anwar tak juga mencapai 30 tahun, tapi kata-katanya masih tetap dikenang orang sampai sekarang. Demikian pula dengan Wiji Thukul yang menghasilkan puisi masterpiece berjudul “Peringatan” yang menunjukkan oposisi biner dan sekaligus berupaya meruntuhkan oposisi biner itu. Wiji Thukul menggambarkan posisinya sebagai penyair yang beroposisi dengan penguasa tiran/diktator. Kata-kata dalam puisi itu akan terus hidup dan digunakan tidak saja oleh pembaca sastra tapi juga oleh aktivis atau orang-orang pergerakan untuk melakukan resistensi terhadap rezim yang otoriter dan represif.
R. von der Borgh (1990) menemukan dua versi sajak “Peringatan” yang ditulis Wiji Thukul, yakni yang ditulis pada 1986 dan yang direvisi pada 1987. Revisi sajak “Peringatan” inilah yang menghasilkan kata-kata berjiwa tersebut: hanya ada satu kata: lawan! Dalam sajak versi pertama, kata-kata itu belum muncul. Sajak “Peringatan” edisi revisi ini sekaligus memperlihatkan kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul. R. von der Borgh mencatat bahwa kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul itu tidak terlepas dari pergaulan Wiji Thukul dengan budayawan-budayawan Jawa Tengah, teristimewa Halim H.D., yang membuka/memberi peluang bagi Wiji Thukul untuk memasuki wilayah sastra dan budaya Indonesia yang lebih luas. Halim H.D. pula yang berjasa memproklamasikan “sastra ngamen” dan “sastra gugat” ciptaan Wiji Thukul di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada September 1987.
Adapun kedua versi sajak “Peringatan” itu adalah sebagai berikut:

Peringatan (sebelum direvisi)
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat berbisik-bisik
ketika berbicara
penguasa harus waspada
dan belajar mendengar

dan bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
bila rakyat patuh-patuh
penguasa harus mencari sebabnya
bila omongan penguasa tak ada yang membantah
kebenaran pasti terancam

bila usul ditolak
kritik dilarang
dengan dalih mengganggu keamanan
berarti penguasa sedang ketakutan
kekerasan pasti digunakan
maka berhati-hatilah


Peringatan (setelah direvisi)
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Solo, 1986
Jika kita bandingkan kedua versi sajak itu, tampak bahwa versi kedualah yang memperlihatkan vitalitas penyairnya yang tinggi. Sajak “Peringatan” itu diciptakan Wiji Thukul pada 1986 dan direvisi pada 1987, di saat rezim Soeharto masih sangat kokoh bercokol di kursi kekuasaan—sehingga tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menjadi kekuatan penyeimbang (oposisi) dalam sebuah negara demokrasi Pancasila. Kata-kata ciptaan Wiji Thukul yang terakhir itu seakan-akan menjelma mantera yang dapat memberi spirit bagi perjuangan para buruh dan mahasiswa demonstran, terutama untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan.
Memang, Wiji Thukul bukanlah satu-satunya pejuang yang menyuarakan hak asasi manusia (HAM), karena di luar wilayah sastra, atau tepatnya di kalangan pejuang HAM di Indonesia, kita juga mengenal Marsinah, Udin (Muhammad Syafruddin), Munir, Benjamin Mangkoedilaga, Baharuddin Lopa, Trimoelja D. Soerjadi, dan masih banyak lagi yang belum tercatat. Namun, di bidang sastra, terutama puisi, Wiji Thukullah yang pantas dikenang dan diberi penghargaan. Konsistensi perjuangannya dapat dikatakan menyamai perjuangan Si Burung Merak, Rendra.
Cerpenis Linda Christanty menggambarkan bagaimana Wiji Thukul dan Rendra sama-sama mendapat penghargaan Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda karena karya-karya yang mereka hasilkan. Saat itu, hanya Rendra yang bisa berangkat ke Belanda. Penghargaan dan hadiah berupa sejumlah uang untuk Wiji Thukul pun dititipkan kepada Rendra. Namun, sampai Wiji Thukul hilang pada pasca kasus 27 Juli 1996, uang itu tidak pernah sampai kepadanya (Christanty, 2002).
Sementara perjuangan Wiji Thukul ibarat memperjuangkan kebenaran hakiki, atau perjuangan untuk mencapai splendor veritatis (‘cahaya kebenaran’) sebagaimana yang diungkapkan Y.B. Mangunwijaya (lihat Taum, 2002), yakni keadilan bagi sesama manusia tanpa memandang kelas sosial. Apa yang disuarakan Wiji Thukul dalam sajak-sajaknya adalah fakta sosial yang jarang atau tidak pernah diungkap bahkan oleh media massa Indonesia—terutama di masa Orde Baru.
Kemiskinan, ketidakadilan, jurang yang dalam antara si kaya dengan si miskin (ketimpangan sosial) diungkapkan Wiji Thukul dengan bahasa yang lugu, lugas, bahasa sehari-hari, bahasa yang sangat familier dengan keluarga, teman, atau masyarakat di sekitarnya. Harry Aveling (2003) menilai sajak-sajak Wiji Thukul seperti itu sebagai sajak yang keras dan konfrontasional. Hanya saja, karena bahasa semacam itu tertimbun oleh bahasa euphimisme yang menyelimuti bahasa Indonesia di zaman Orde Baru, maka bahasa yang digunakan Wiji Thukul itu menjadi bahasa yang unik. Beberapa sajak Wiji Thukul yang menurut saya mampu menggambarkan kenyataan dengan baik adalah “Sajak Suara”, “(Tanpa Judul)”, dan “Buron”. Keberhasilan Wiji Thukul itu dikarenakan ia menyuarakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dialaminya secara langsung. Dengan demikian, ia menyampaikan substansi tanpa bantuan orang kedua atau bantuan media/peralatan lain. Wiji Thukul tidak sekadar menyampaikan pesan, tapi ia adalah message itu sendiri.

Sajak Suara

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan


(Tanpa Judul)

kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini

ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan

kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

indonesia, 11 agustus 96


Buron

baju lain
celana lain
potongan rambut lain
buku yang dibaca lain
bahan percakapan lain
nama lain
identitas lain
ekspresi lain
menjadi
diri
sendiri
adalah tindakan
subversi
di negeri ini
maka
selalu siaga
polisi
tentara
hukum dan penjara
bagi siapa saja
yang menolak
menjadi orang lain

20 september 96

Gaya bahasa yang lugu seperti ini juga digunakan oleh penyair A. Mustofa Bisri dalam sajak-sajak kontekstualnya, seperti yang tampak dalam sajak “Rasanya Baru Kemarin” yang terdiri dari beberapa versi (Bisri, 2002). Demikian pula mengenai tema penyimpangan dan ketimpangan sosial juga mendapat tempat dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri yang mutakhir, seperti “Tanah Airmata”, “Jembatan”, dan “David Copperfield, Realities ‘90” -- dalam Horison (1998) -- dengan penggunaan bahasa yang sangat canggih. Terlihat bahwa Sutardji Calzoum Bachri yang pada awal kepenyairannya (1974) mengeluarkan kredo puisi yang membebaskan kata dari beban makna atau ide, pada 1990-an telah menunjukkan perkembangan yang sebaliknya, yakni memberi makna pada setiap kata, seperti yang dilakukan Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. Tidak hanya itu, Sutardji Calzoum Bachri berusaha menggunakan puisi untuk menyampaikan pikirannya terhadap realitas sosial yang dibacanya.
Dengan demikian, kalau dikatakan Wiji Thukul hanya memperalat puisi untuk mencapai maksud tertentu (versi penguasa: kepentingan tertentu) maka tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena, bagaimanapun, kata, puisi, karya sastra, merupakan alat atau media ekspresi bagi sastrawan. Sama halnya dengan tentara yang menggunakan peluru, senjata, dan bom nuklir sebagai alatnya. Tinggal dilihat apakah alat itu digunakan dengan baik dan benar seperti pasukan keamanan PBB atau justru sebaliknya: alat itu digunakan untuk mengintervensi negara-negara kecil seperti Afghanistan, Irak, Palestina, Iran, dan Suriah, misalnya, seperti yang dilakukan Amerika Serikat.
Melalui sajak-sajaknya, Wiji Thukul merepresentasikan dirinya sendiri sebagai seorang warga negara yang melarat di sebuah negeri yang subur. Apa yang berharga dari puisiku/ Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak/ Jika nasi harus dibeli dengan uang/ Jika kami harus makan/ Dan jika yang dimakan tidak ada? (“Apa yang Berharga dari Puisiku”). Dalam jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Wiji Thukul mengingatkan bahwa ia tidak sedang membela rakyat. “Saya sebenarnya membela diri saya sendiri. Saya tidak ingin disebut pahlawan karena memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sungguh saya hanya bicara soal diri saya sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi saya. Saya bukan penyair protes. Saya menyadari proses. Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan saya sendiri.” (Thukul, 1994).
Ia menyuarakan isi hati dan pikirannya secara apa adanya, lugu, dan jujur. Dan ketika ia bersuara secara lugu dan jujur, sehingga yang terbaca dalam puisinya adalah suara yang murni (otentik), maka yang terjadi kemudian adalah kecemasan penguasa. Ketika seorang warga negara sadar dengan kenyataan yang ada di sekelilingnya, dan dia mengekspresikan kenyataan dirinya dan menolak penyeragaman, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan kemapanan, menjadi the other, meskipun warga tersebut, dalam hal ini penyair Wiji Thukul, tidak berpretensi apa pun selain mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri sendiri. Sejatinya, setiap orang berhak untuk memperbaiki nasibnya sendiri untuk menjadi lebih baik. Dalam hal Wiji Thukul, untuk memperbaiki nasibnya tersebut, ia mempertanyakan keadaan yang menghimpit hidupnya. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang bernasib lebih baik. Pertanyaan-pertanyaan itu mengkristal menjadi kesadaran yang kemudian merangsangnya untuk melakukan perlawanan atau semacam gugatan terhadap ketidakadilan. Apakah nasib kita akan seperti/ sepeda rongsokan karatan itu?/ o, tidak, dik!/ kita harus membaca lagi/ agar bisa menuliskan isi kepala/ dan memahami dunia (“Puisi Untuk Adik”).
Suara Wiji Thukul yang lugu, blokosuto (blak-blakan) ini kemudian dimaknai sebagai tindakan subversif oleh penguasa yang sangat selektif dalam menerima informasi. Bahkan kecenderungan penguasa tiran adalah menguasai informasi dan mengatur lalu lintas informasi itu. Makanya, ketika Wiji Thukul berpuisi dengan segenap kejujuran, hal itu dianggap sebagai upaya mendobrak arus kemapanan yang telah dipelihara oleh penguasa.
Harus diakui bahwa di tangan Wiji Thukul, kata-kata menjadi alat perjuangan untuk merontokkan sebuah rezim yang zalim. Ia bukanlah penyair sekadar—seperti yang disuarakan Sutardji Calzoum Bachri dalam salah satu sajaknya. Dan, dalam kurun waktu satu-dua dekade, kita sudah bisa melihat runtuhnya sebuah rezim yang angkuh itu. Perhatikan sajak perlawanan seorang Wiji Thukul yang memposisikan dirinya sebagai kaum marginal yang berhadapan dengan penguasa berikut ini:

Bunga dan Tembok

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!

dalam keyakinan kami
di mana pun – tirani harus tumbang!

Solo, ’87 - ‘88

Sejak Soeharto naik menjadi Presiden RI, sejak perseteruan antara seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—yang beraliran realisme sosial, yang kontekstual—dengan seniman Manifes Kebudayaan (Manikebu)—yang beraliran humanisme universal, yang prinsip keseniannya l’art pour l’art—mulai reda, puisi di Indonesia memang sempat diramaikan dengan puisi-puisi lirik, puisi yang lebih banyak membicarakan kegelisahan atau kegalauan pribadi, seperti yang dipelopori Sapardi Djoko Damono (muda), Goenawan Mohamad (muda), dan mendapatkan tempat yang luas di majalah Horison periode awal. Karya-karya realisme sosial nyaris tidak mendapat tempat di media massa di awal Orde Baru. Ajip Rosidi menyebut situasi semacam itu sebagai “bandul yang berbalik arah”. Sebelum peristiwa G30S, kehidupan seniman Manikebu sangat nelangsa dan seniman-seniman Lekra berada di dalam orbit kekuasaan Soekarno (tua) yang cenderung diktator. Setelah peristiwa itu, suasananya nyaris berbalik 180 derajat. Bahkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang. Mahasiswa yang memperjualbelikan novel-novel Pram pun ditangkap. Tapi, di sisi lain, hal itu serta-merta menjadi karya subaltern, simbol perjuangan demokratisasi ataupun untuk melawan sebuah rezim.
Wiji Thukul, seorang anak muda yang menurut Arief Budiman (1994) mirip pedagang asongan, mengambil jalan lain. Ia menulis puisi yang bisa dimengerti oleh teman-temannya sendiri, menulis tentang kenyataan hidupnya sendiri. Ia pun membacakan puisinya ke kampung-kampung hingga ke kampus-kampus di dalam dan luar negeri. Dan, akhirnya kita lihat bahwa di tangan penyair, fakta sosial bisa menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Jika Udin membongkar fakta money politics Bupati Bantul, Yogyakarta, dengan kepekaan jurnalistiknya, Wiji Thukul mengungkap fakta ketimpangan sosial dengan kepekaan kepenyairannya. Keduanya sama-sama mengungkap fakta, dan keduanya sama-sama dilenyapkan. Namun, kata-kata sang penyair seperti memiliki sejarah hidup yang berbeda dengan penyairnya. Hanya ada satu kata: lawan!.


Bibliografi

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998.
Magelang: IndonesiaTera.
Bisri, A. Mustofa. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang.
Borgh, R. von der. 1990. “Puisi Wiji Thukul Wijaya”, dalam Tanah Air, Edisi No. 5,
Desember.
Budiman, Arief. 1994. “Wiji Thukul Penyair Kampung”, dalam Wiji Thukul, Mencari
Tanah Lapang.
Leiden: Manus Amici.
Christanty, Linda. 2002. “Wiji Thukul, Seorang Kawan”, dalam Ini Sirkus Senyum.
Yogyakarta: Bumimanusia.
Majalah sastra Horison, No. 6 Juni 1998.
Taum, Yoseph Yapi. 2002. “Puisi-puisi Kerakyatan Wiji Thukul”, dalam Jurnal Puisi,
No. 10, Desember.
Thukul, Wiji. 1994. “Seniman Harus Memperjuangkan Gagasannya”, dalam Jurnal
Revitalisasi Sastra Pedalaman, Edisi 2, November.
_____. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: IndonesiaTera.

Labels

ABDUL HAFIDZ, AR | Template by - Abdul Munir - 2008 - layout4all