Nama Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka kembali mencuat, kali ini karena
tersiar kabar kejelasan kematiannya karena ditembak mati di Desa Selo
Panggung di kaki Gunung Wilis di Jateng atas perintah Letnan Dua
Soekotjo dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya, 21 Februari 1949.
Menurut sejarawan Belanda sekaligus Direktur KITLV Press (Institut
Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) Harry A. Poeze
eksekusi itu berdasarkan surat perintah Pangdam Brawijaya Soengkono dan
Komandan Brigade Soerahmat untuk menjaga stabilitas Indonesia yang
dicabik-cabik Agresi Militer II Belanda tahun 1949.
“Keputusan Malaka ikut berjuang di pedalaman bersama Batalion
Sabarudin (Brawijaya) adalah langkah salah. Dia [Sabarudin] dikenal
psikopat,” ujar Poeze dalam peluncuran tiga jilid buku Verguisd en
Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesiche Revolutie,
1945 – 1949 (Dihujat dan Dilupakan, Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia 1945 – 1949), di Gedung Juang awal pekan ini.
Saat itu Dwi Tunggal Indonesia, Soekarno-Hatta ditahan Belanda di
Bangka sementara Panglima Besar Sudirman bergerilya melakukan perlawanan
semesta, berpindah-pindah hingga Belanda dipukul mundur dan memilih
sepakat dalam Konfrensi Meja Bundar.
Poeze dalam menambah deretan sejarawan asing yang memberi wacana baru bagi beberapa tokoh besar Tanah Air.
Sebetulnya fakta Malaka digilas konflik ideologi bagi sebagian orang
bukan kabar baru. Sebelumnya hal ini sudah disebut dalam biografi Iwa
Kusuma Sumantri yang tertunda-tunda peluncurannya selama dua dekade.
Iwa menyebut Malaka dieksekusi karena membawa mandat dari Sukarno
untuk menjadi pemimpin Indonesia jika Dwi Tunggal berhalangan atau
tertangkap di masa revolusi.
Profil Tan Malaka memang menarik, perannya yang besar bagi revolusi
kemerdekaan begitu abu-abu karena idologinya sehingga sulit ditempatkan
pada sisi mana.
Lahir dan dibesarkan sebagai Islam, dalam pekembangnya, Malaka adalah
guru komunis nomor wahid internasional. Meski demikian pria asal Nagari
Pandam Gadang, Suliki, Sumbar, 2 Juni 1897 itu justru seringkali
bentrok dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selama hidupnya, dia tak pernah menikah. Menurut kesaksian perempuan
yang dijodohkan padanya, Paramitha Abdulrachman, Malaka seorang
homoseksual.
Perjuangannya konsisten di jalur intelektual dan mengangkat senjata.
Sedikit banyak mirip Che Guevara. Malaka kukuh mengkritik tirani, baik
kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan Soekarno.
Sebagai pembangkang, hidupnya habis di penjara dan pembuangan di
dalam dan luar Indonesia. Hal yang membuatnya mumpuni membangun jaringan
gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia
Tenggara yang dirintis Ketua Umum pertama PKI Semaun.
Meski memimpikan Indonesia merdeka lewat Naar Repoebliek Indonesia
(Menuju Republik Indonesia) yang ditulisnya tahun 1924 di Kanton, China,
Malaka justru menentang gerakan revolusi PKI tahun 1926.
Malaka juga lebih suka bergerak dalam bayangan, meski menggerakkan
arus perjuangan dia justru tak bisa hadir dalam proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945. Poeze bahkan berhasil mendapatkan foto Soekarno
berdampingan dengan Malaka dalam panasnya Rapat Ikada.
Belakangan Sukarno meminta seniornya itu untuk siap menggantikannya
jika dia berhalangan. Menurut Sejarawan Asvi Warman Adam, Poeze
mendapatkan selain Malaka dan Iwa terdapat nama Syahrir dan Wongsonegoro
dalam mandataris pengganti Soekarno yang telah disetujui Hatta.
Nama Malaka kembali heboh usai kudeta militer 3 Juli 1946 Jenderal
Mayor Soedarsono yang gagal. Peristiwa itu membuat Hatta menjebloskan
Malaka beserta para pemimpin aliran Marxisme-Leninisme ke penjara
Wirogunan Yogyakarta.
Dalam pencajara dia tetap menggalang massa. Simpatisannya di tingkat
elite cukup banyak mulai dari pemimpin Barisan Banteng Dr. Muwardi
(Islam), Urip Sumoharjo (Katolik), Gatot Subroto (Budha) hingga Panglima
Besar Sudirman (Islam).
Kedekatan Sudirman pada tokoh Sosialis itu pernah dikupas SI
Poeradisastra, sejarawan dan Guru Besar UI dalam “Tingkah Laku Politik
Panglima Besar Soedirman” yang dirilis 1984 lalu dicekal Kejagung 28
Agustus 1984 lewat fatwa No 167/JA/8/1984.
Pasca persetujuan Renville yang amat merugikan Indonesia, Malaka
membentuk GRR (Gerakan Revolusi Rakyat) di bawah pimpinan dirinya dan
Rustam Effendi pada 6 Juni 1948.
Organisasi itu didirikan untuk mengimbangi kekuatan kelompok
Marxisme-Liberalisme moderat di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin dan
Sjahrir yang menguasai pemerintah saat itu.
Setelah itu politik Tanah Air berkutat pada pertarungan perebutan
puncak kekuasaan yang memanas usai kebijakan “Rasionalisasi angkatan
Perang”, ide Urip Sumoharjo yang disetujui Hatta untuk menjinakan
laskar-laskar bersenjata di wilayah RI saat itu.
Bayangkan betapa sesaknya Solo dan Yogya saat itu 400.000 laskar
bersenjata tanpa kedisiplinan militer ditambah tentara Divisi
Siliwangi-bersama keluarganya–yang terusir dari wilayah Jabar harus
istirahat dari perang dan dalam kondisi ekonomi yang tak menentu. Dari
jumlah itu, milisi bersenjata diciutkan tinggal 57.000 saja.
Puncak gesekan terjadi pada September 1948, Front Demokrasi Rakyat
(FDR)/PKI berdiri di balik pemogokan di Delanggu dan kekacauan setelah
Pekan Olah raga Nasional I di Solo, 12 September 1948.
Tarik menarik kepentingan, culik menculik dan bunuh membunuh
kecil-kecilan kedua kubu berujung pada pertempuran besar 13 September
1948 antara FDR-PKI yang mengorganisir Divisi Panembahan Senopati
melawan kekuatan pemerintah Barisan Banteng, Hisbullah, ALRI dan Divisi
Siliwangi.
Baku tembak berakhir dua hari dengan gencatan senjata yang disaksikan
Panglima Besar Jenderal Sudirman, petinggi-petinggi militer RI termasuk
Residen Sudiro.
Kondisi ini membuat Hatta membutuhkan dukungan, lalu atas saran
Sudirman membebaskan Malaka 16 September. Dua hari berselang justru
pecah Madiun Affair.
Uniknya pada proklamasi Negara Republik Komunis Indonesia, 18
September para pemimpin puncak PKI termasuk Muso justru masih berada di
luar kota.
Namun penyelidikan peristiwa ini tak berujung, Indonesia yang lemah
lunglai dibokong Belanda yang menggelar agresi militer II, 19 Desember
1948. Sukarno-Hatta menyerah di Yogyakarta, lupa janjinya akan ikut
bergerilya melakukan perlawanan semesta.
Malaka dan Sudirman yang akrab di Persatuan Perjuangan kembali ke
pedalaman. Tiga bulan berselang, Malaka tewas misterius menyusul nasib
tangan kanannya, Muwardi yang hilang misterius diculik komunis pada
September 1948 di Jebres, Solo.
Selama Orde Baru berkibar, Tan Malaka yang ditetapkan sebagai
Pahlawan kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno 28 Maret 1963,
bersama Semaun sempat hilang dalam buku pelajaran sejarah. Uniknya
namanya hilang sejak tahun 1959 sampai 1999.
Pages
Blog Archive
Powered by Blogger.
Translate
Popular Posts
-
Nama Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka kembali mencuat, kali ini karena tersiar kabar kejelasan kematiannya karena ditembak mati di Desa Selo ...
-
Sejarah bangsa Indonesia merupakan sejarah gerakan anak-anak muda. Mulai dari dicetuskannya Sumpah Pemuda yang mampu membuat perlawanan d...
-
Pemerintah tetap berkeras hati untuk melaksanakan Ujian Nasional, meski penolakan Ujian Nasional telah dikumandangkan oleh berbagai pihak....
-
Bagaimana Lembaga itu Terbentuk --Para pemimpin Koalisi 17 Februari, gerakan oposisi berbasis di Benghazi terbentuk ketika timbul pemberonta...
-
Sebelum membahas pengertian advokasi yang berlaku secara umum dan advokasi menurut IRM, maka ada baiknya kita mengurai dulu keterkaitan an...
-
KETIKA dunia kerja tidak lagi hanya menuntut kemampuan intelektual tapi juga profesionalitas yang dibuktikan dengan pengalaman, maka sebag...
-
Dalam dunia kemahasiswaan, kita mengenal adanya istilah “mahasiswa apatis”. Memang belum ada definisi yang jelas, ketat, dan menyeluruh te...
-
Lemahnya Indonesia yang "kaya" akan kekayaan alamnya menjadi "mandul" tak bisa apa-apa, ini semua dimulai dan diawali ...
-
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan uma...
-
Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon D...
About Me
- Abd. Hafidz AR
- Pekanbaru, Riau, Indonesia
- Menteri Kebudayaan dan Kreativitas Mahasiswa BEM UNRI Ketua Bidang Advokasi PW IPM Riau Student In International Relational Riau University
Followers
Blogger news
Blogroll
Blogger templates
Friday 7 October 2011
PEJUANG ITU BERNAMA TAN MALAKA...
Posted by Abd. Hafidz AR at 23:28
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
- Peresmian (1)
0 comments:
Post a Comment