Pemerintah
tetap berkeras hati untuk melaksanakan Ujian Nasional, meski penolakan Ujian
Nasional telah dikumandangkan oleh berbagai pihak. Ujian Nasional adalah isu
pendidikan yang sangat kontroversial di negara kita. Pro kontra tentang Ujian
Nasional pun sudah terlalu sering menjadi bahan diskusi dan seminar Pendidikan,
kenyataannya pemerintah tetap tak bergeming, malah terkesan tak mau akomodatif
terhadap aspirasi yang berkembang dengan menaikkan standar kelulusan setiap
tahun.
Dana
APBN dan dana lainnya yang dikeluarkan untuk UN pada tahun 2009 Rp. 572 Milyar,
tahun 2010 Rp. 590 Milyar, tahun 2011 Rp. 600 Milyar dan tahun 2012 Rp. 600
milyar. Belum lagi dana-dana lainnya setelah berkas UN sampai didaerah-daerah.
Pasar gelap jawaban soal UN juga sangat riuh sehingga mendatangkan pendapatan
haram bagi para oknum dari kalangan pendidikan juga.
Argumen
yang paling mendasar bagi pemerintah dalam mempertahankan Pelaksanaan Ujian
Nasional adalah sebagai bangsa kita butuh evaluasi yang memiliki standar agar
dapat mengukur kualitas pendidikan kita, hal ini justru mengisyaratkan
ketidakpahaman pemerintah terhadp substansi evaluasi dalam pendidikan. Evaluasi
secara substantive bertujuan untuk meningkatkan kualitas. Artinya, dalam hal
ini harus ada tindakan lanjutan (Follow Up) setelah nilai dari hasil Evaluasi
didapatkan, namun yang terjadi pada saat ini tidaklah demikian, Ujian Nasional
sangat mutlak dan Pemerintah seakan tidak peduli dengan siswa yang gagal dalam
ujian tersebut, pendekatan lanjutan juga tidak spesifik dan menyentuh langsung
pada kebutuhan siswa. Malah yang dimaksud dengan peningkatan mutu yang dipahami
oleh pemerintah dengan cara meningkatkan standar kelulusan dari tahun ke tahun,
dan memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional. hal ini
diasumsikan pada bahwa dengan dinaikkannya Standar kelulusan maka kualitas dari
pendidikan itu sendiri semakin meningkat, sehingga dapat diartikan secara tidak
langsung bahwa kualitas pendidikan menurut Pemerintah adalah sekedar menjawab
soal ujian dengan benar tanpa disertai dengan peningkatan yang lainnya.
Selain
itu juga, pemerintah berkilah dengan melakukan program sertifikasi guru adalah
salah satu upaya untuk peningkatan mutu sehingga tidak ada demokrasi bagi guru
untuk mempertanggungjawabkan kegagalan siswanya dalam Ujian Nasional. jika
siswa gagal maka gurulah yang bertanggungjawab, sehingga kegagalan dalam Ujian
nasional ini seringakali dilemparkan kepada Guru. Pemerintah seakan lupa bahwa
program sertifikasi guru sampai saat ini belum dievaluasi secara holistik.
Lebih memprihatinkan lagi, ada beberapa daerah di Indonesia program sertifikasi
ini dijadikan sebagai alasan untuk pemangkasan tunjangan kinerja, sehingga guru
dijadikan sebagai permainan politik anggaran.
Setiap
kebijakan yang diputuskan tentu tidaklepas dari dampak atau akibat dari
pelaksanaan kebijakan tersebut, baik berdampak positif maupun berdampak
negatif. Begitu juga dengan Ujian Nasional, setiap penyelenggaraannya tak lepas
dari berbagai kasus yang bermunculan disana-sini, diantaranya adalah terjadinya
pembocoran soal yang dilakukan oleh berbagai oknum, termasuk oknum sekolah.
Demi meluluskan peserta didik, beberapa sekolah sempat melakukan kecurangan
dalam pelaksanaan ujian Nasional tersebut. Jadilah Ujian yang semula
menciptakan pendidikan Indonesia yang berkualitas, berubah menjadi ajang
pembelajaran kecurangan. Para siswa tahu gurunya sedang melakukan kecurangan,
dan mereka sadar bahwa kelulusan yang mereka dapatkan bukan merupakan hasil
dari usaha mereka. Tapi mereka tidak ambil pusing, karena sudah belajar dan
terbiasa hidup dalam kecurangan, kalau ini berlanjut, bukan tak mungkin
moralitas generasi penerus bangsa akan berubah menjadi generasi pengecut dan
penipu.
Selanjutnya
ada satu fenomena yang terjadi didalam ujian nasional, ujian yang seharusnya
disikapi dengan proporsional ternyata disikapi dengan berlebihan oleh sebagian
lembaga pendidikan. Seakan Ujian nasional merupakan bencana alam dahsyat
sehingga harus meminta pertolongan dari Tuhan dengan melakukan Istighasah
secara besar-besaran semalam suntuk, entah karena putus asa, atau hanya sekedar
tradisi menyambut ujian Nasional sehingga Tuhan pun dilibatkan dalam Ujian
nasional tersebut secara berlebihan.
Faktor kecurangan pada
Ujian Nasional dapat dipahami dalam dua sisi:
Pada sisi pertama, Indikator
pembangkangan dan pemberontakan para guru dan sekolah terhadap kebijakan Ujian
Nasional. setiap tahun pengawasan terhadap Ujian Nasional ini ditingkatkan,
namun pada faktanya, tetap saja kecurangan semakin banyak terjadi. Bukankah ini
pertanda bahwa guru dan sekolah sedang berontak? Sebab jika benar guru dan
sekolah rela dengan sistem evaluasi model Ujian Nasional, maka pemerintah tidak
perlu susah payah membiayai pengawasan Ujian Nasional secara massive dengan melibatkan
banyak pihak, nyatanya pada saat evaluasi Reguler guru dapat mengawasi ujian
dengan baik, tanpa polisi, LSM, Wartawan, pengawas silang, pihak universitas,
dll seperti yang terjadi selama Ujian Nasional, lantas kenapa pada saat Ujian
Nasional dengan pengawasan yang berlapis justru kecurangan terjadi? Bagi yang
berfikir logis tentu akan berpendapat bahwa guru dan sekolah sedang berontak.
Disisi
lain juga dipertanyakan, apakah benar Ujian Nasional yang selama ini dilakukan
oleh pemerintah dilaksanakan secara jujur? Hal ini merupakan pertannyaan yang
menggelitik karena selama ini kecurangan tentang pelaksanaan ujian nasional
bukan menjadi sesuatu yang sangat tabu, bahkan tersebar diseluruh kalangan
masyarakat. Kecurangan dalam ujian Nasional ini merupakan titik klimaks dari
Lingkaran Setan dalam sistem perpolitikan pendidikan yang terjadi di Indonesia.
Coba bayangkan, jika angka kelulusan 95% dalam ujian nasional tidak tercapai
diseluruh Indonesia, Apakah Menteri Pendidikan Nasional tidak malu dan terancam
dicopot, bagaimana dengan nasib para Gubernur, Kepala Dinas Pendikan, Para
Bupati, Kepala Sekolah dan seluruh pihak yangterlibat dalam hal ini tidak malu
dan juga terancam dicopot dari jabatannya?, oleh karena itu konflik kepentingan
dan lingkaran yang seperti ini lah yang membuat kecurangan didalam ujian
nasional sangat rentan terjadi, hal ini diperburuk dengan barometer Utama dalam
keberhasilan Pendidikan Nasional ini bergantung dari seberapa tidaknya
pencapaian hasil dalam Ujian nasional. sehingga hal ini bukannlah menjadi
kepentingan asiswa yang bersangkutan akan tetapi menjadi berbagai macam
kepentingan yang ada disebalik pelaksanaan Ujian Nasional ini.
Fenomena
dan kejadian seperti ini semakin memperjelas bahwa Pemerintah pada dasarnya
masih dilematis dan kebingungan dalam memahami substansi dari evaluasi
pendidikan ini. Disatu sisi pemerintah menginginkan peningkatan mutu yang
terukur dan menjadi barometer yang pas dalm standar pendidikan, namun disisi
lain pemerintah bisa menemukan cara yang efektif dalam mencapai Format Ujian
Nasional yang tepat.
Ada
beberapa alasan yang memberatkan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional tersebut,
diantaranya :
- Inkonsistensi
dan Arogansi Eksekutif; sikap Mendiknas untuk tetap bersikeras melakukan
Ujian Nasional ini diterjemahkan sebagai suatu sikap arogansi eksekutif,
karena sebelumnya UAN telah disepakati bersama komisi X DPR serta para
pakar praktisi pendidikan untuk dicabut dan dihapuskan, namun Mendiknas
kembali menggelar UN sebagai pengganti UAN yang sistem penyelenggaraannya
hampir sama.
- Menyalahi
konsep Otonomi Pendidikan; UAN Dan UN yang dilaksanakan pemerintah melalui
Mendiknas, disinyalir berseberangan dengan konsep otonomi pendidikan,
karena keterlibatan dan campur tangan pemerintah pusat yang begitu
dominan. Padahal sistem penyelenggaraan UAN maupun UN itu cenderung
sentralistik, dan tidak mengakomodir pluralitas di masing-masing daerah.
Seharusnya yang meluluskan peserta didik dalam jenjang pendidikan tertentu
merupakan otoritas masing-masing lembaga pendidikan, bukan pemerintah yang
merancang desain Ujian Akhir serta mematoknilai standar minimum kelulusan.
Karena pemerintah pusat jelas tidak memahami seluk beluk pendidikan
didaerah-daerah, apalagi jika hendak meluluskan para peserta didik dengan
standarisasi dan nilai ujian.
- Mengabaikan
nilai-nilai Khas Kultural; masing-masing daerah di Indonesia memiliki
kultur yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dan ketika
sistem ujian nasional digunakan sebagai standar nasional yang
sentralistik, maka nilai-nilai khas kultural yang dimiliki masing-masing
daerah cenderung diabaikan.
- Rentan
terhadap Intervensi/Kepentingan Pemerintah; ini merupakan persoalan yang
paling rawan dikhawatirkan oleh banyak kalangan, penyelenggaraan UN
dianggap sebagai bentuk intervensi pusat kepada daerah-daerah secara
berlebihan
Lulus
tidaknya seorang peserta didik ditentukan oleh pendidik dan lembaga pendidikan
tempat peserta didik itu belajar. Negara tidak berwenang dalam hal ini. Negara
hanya mengatur lembaga pendidikan, tenaga pendidik dan kriteria yang digunakan
untuk menentukan kelulusan peserta didik, dan UU No. 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional telah mengatur seperti itu.
Tidak
ada satu pasal pun dalam UU No. 20 tahun 2003 yang memberikan kewenangan kepada
Pemerintah atau pemerintah Daerah untuk menentukan kelulusan peserta didik.
Digunakannya
Ujian Nasional sebagai jalan satu-satunya untuk menentukan kelulusan peserta
didik tidak menyelesaikan masalah pendidikan, tetapi justru menimbulkan masalah
baru. Dalam hal ini pemerintah membuat peraturan, memberikan izin pendirian
satuan pendidikan, pemerintah melaksanakan akreditasi dan pemerintah juga yang
mengambil kewenangan guru dan sekolah yang telah diakreditasi, mutu pendidikan
tidak akan pernah meningkat dalam negara yang pemerintahannya tidak mempercayai
guru dan sekolah yang telah diakuinya sendiri.
Seharusnya
jika pemerintah berniat melakukan evaluasi terhadap mutu pendidikan, evaluasi
haruslah dilakukan sebagai salah satu proses dalam perbaikan mutu. Tujuan
terakhir dari evaluasi bukan dilihat dari hasil lulus dan tidak lulus akan
tetapi lebih berorientasi pada memahami kelemahan sistematik dalam pendidikan
secara holistik kemudian menemukan solusinya. Hasil tersebut kemudian menjadi
bahan utama perumusan kebijakan strategis untuk peningkatan pendidikan,
sehingga evaluasi tidak dilakukan hanya untuk mempertahankan ritual tahunan
dengan anggaran yang bombastis tanpa tujuan yang jelas.
Kita
memang memerlukan evaluasi sebagai alat ukur dalam kualitas pendidikan di
Indonesia, akan tetapi jika menggunakan Ujian Nasional sebagai alat penentu
kelulusan bukanlah suatu alasan untuk mengukur kualitas secara keseluruhan dan
mapping kualitas secara regional sebagai bahan evaluasi akademik. Kosekuensinya
adalh perbaikan penyelenggaraan pendidikan dan tidak menghakimi anak didik
apalagi guru yang sudah bersusah payah mendidik mereka selama bertahun-tahun.
Setelah kurun waktu yang ditentukan seharusnya anak didik harus direlakan untuk
menamatkan pendidikannya tanpa harus dibelenggu oleh ujian Nasional. namun,
kelulusan mereka lebih ditentukan pada bagaimana cara amereka mengaplikasikan
pendidikan yang mereka dapatkan sehingga mereka juga mempunyai kesempatan dalam
menentukan masa depannya.
Referensi
:
·
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: CV. Eka Jaya, 2003
·
Ashwin Pulungan, Pelaksanaan UN 2012,
Pembodohan yang melanggar keputusan MA, Artikel di Kompasiana Edukasi 15 April
2012
·
Merphin, Panjaitan, Tolak Ujian
Nasional dan Kembalikan Penentuan kelulusan Pelajar kepada Pihak Sekolah dan
Guru, Artikel di Karawang Info 08 Desember 2012
·
Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan:
Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa,(Yogyakarta:Pinus Book Publisher,
2008) hal. 154