Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan
dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa
Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa
Tengah. Hidayat Nur Wahid berasal dari keluarga pemuka agama. Kakeknya
dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya
H. Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul Ulama, juga merupakan
pengurus Muhammadiyah. Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah aktivis
Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah.
Hidayat Nur
Wahid adalah sulung dari tujuh bersaudara. Nama Hidayat Nur Wahid
sendiri adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak sulung ini
kelak menjadi petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya bersyukur karena
menilai Hidayat Nur Wahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi
adik-adiknya. Lebih dari itu, Hidayat Nur Wahid bahkan kini menjadi
pelopor hidup sederhana di kalangan pejabat di Indonesia.
Keluarga
Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda
alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang
mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya
menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri
berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Usai
lulus Sekolah Dasar, Hidayat Nur Wahid melanjutkan pendidikan ke Pondok
Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebagaimana
diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir bebas selain
berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.” Semboyan ini
tampak pada kehidupan Hidayat Nur Wahid hingga beranjak dewasa sampai
kini yang menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika moral dalam
berpolitik dan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum masuk
Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengenyam pendidikan
di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan
oleh salah seorang alumni Gontor. Menurut Hidayat, apa yang tidak ia
dapatkan di Gontor, justru ia dapatkan di Ngabar.
Di Pondok Modern
Gontor, Hidayat Nur Wahid termasuk siswa yang cerdas dan menonjol. Ia
duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi. Di
kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama atau kedua. Menurut
Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian menjadi rekannya di
Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat
Nur Wahid adalah satu-satunya dari 132 santri pada 1978 yang
mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes.
Kecerdasan Hidayat Nur
Wahid memang telah tampak ketika masih kanak-kanak. Di SD Kebon Dalem
Kidul, ia selalu mendapat predikat juara. Sebagai anak guru, Hidayat
mendapatkan pendidikan yang baik. ia sudah bisa membaca sebelum masuk
sekolah. Hidayat kecil juga gemar membaca. Selain komik Ko Ping Ho
kegemarannya, ia juga membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya
dan keluarga. Kebiasaan dari kecil itu masih berlanjut sampai sekarang.
Kini di ruang perpustakaannya, ada lebih dari lima lemari besar penuh
buku, baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.
Selama
menempuh pendidikan di Gontor, Hidayat Nur Wahid mengikuti banyak
kegiatan. Selain kursus bahasa Arab dan Inggris, Hidayat juga mengikuti
kajian sastra, hingga kursus menjahit. Hidayat Nur Wahid juga diangkat
menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika
duduk di kelas V Pondok Gontor. Hidayat Nur Wahid tercatat pula sebagai
anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).
Selepas dari Gontor tahun
1978, Hidayat Nur Wahid sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada jasa
seorang mantri di PKU Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat bagi
masyarakat sekitarnya. Namun akhirnya ia mendaftar di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus ini Hidayat Nur Wahid
sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setahun
kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas Islam
Madinah dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu menjabat
sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat Nur
Wahid pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan
Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Hidayat
Nur Wahid menyelesaikan program S-1 dengan predikat cumlaude pada tahun
1983 dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahud min Islam al-Ansar. Selesai
S-1, awalnya ia tidak berpikir untuk melanjutkan S-2, hingga ia
mendapatkan kabar bahwa namanya tercantum dalam nominasi untuk mengikuti
ujian S-2. Pada hari terakhir ujian itulah Hidayat mengikuti tes dan
akhirnya lulus. Hidayat menamatkan program S-2 pada tahun 1987, dengan
tesis berjudul al-Batiniyyun fî Indonesia, Ard wa Dirasah.
Selepas
S-2 sebetulnya Hidayat Nur Wahid sudah ingin kembali ke tanah air,
namun kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan
salah seorang dosennya. Pada 1992, Hidayat Nur Wahid menamatkan studi
S-3 dengan judul disertasi Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq
wa Dirasah.
Melihat seluruh riwayat pendidikan akademisnya,
kecuali SDN Kebon Dalem Kidul, tampak Hidayat Nur Wahid tercermin
sebagai seorang ahli dalam agama Islam.
Setelah ditinggal oleh
istrinya, Kastrian Indriawati yang wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat
Nur Wahid menikah lagi melalui proses ta’aruf, dengan Diana Abbas
Thalib, seorang dokter dan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda
Aliyah, Pondok Indah, Jakarta.
Aktivitas Sosial dan Politik
Sebagai
bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat memandang Islam sebagai sebuah
konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi.
Paradigma keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui
keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
Gerakan
Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada
era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan
Islam di Timur tengah, terutama al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut sejumlah
studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut
Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan
Universitas Gajah Mada.
Aktivis gerakan ini secara khusyu’
mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid
Qutb, Hassan al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah
cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada
Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air.
Gerakan ini mendapat kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur
Tengah mulai tahun 1988, seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff
al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim.
Gerakan
Tarbiyah inilah yang pada 1998 melahirkan organisasi kemahasiswaan
ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI),
dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai Keadilan (PK).
Selepas
pulang ke tanah air setelah merampungkan program master dan doktornya,
Hidayat Nur Wahid melibatkan diri dalam Yayasan Alumni Timur Tengah dan
mendirikan yayasan-yayasan alumni Timur Tengah. Ia juga mendirikan
Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Yayasan al-Haramain
sebagai bentuk baktinya terhadap pesantren. Yayasan al-Haramain ini
pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat dimana ia menjabat sebagai dewan
redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan sebagai counter terhadap
Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema pembaharuan Islam
Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian, sebagai seorang
Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh rasa hormat kepada
Cak Nur.
Dalam pandangannya yang objektif, Hidayat Nur Wahid
memandang Cak Nur sebagai sosok yang ingin menghadirkan Islam dan Umat
Islam yang bisa diterima secara elegan oleh semua masyarakat dunia,
dimana Islam ditempatkan pada tempat yang tinggi, menginternasional, dan
universal. Islam menjadi sesuatu yang membawa pada pencerahan, bukan
Islam yang disalahpahami, anti budaya, dan sejenisnya. Meskipun pada
beberapa hal, Hidayat mengakui bahwa merupakan hal yang wajar jika ia
tidak selamanya sependapat dengan Cak Nur.
Hidayat Nur Wahid juga
pernah menjabat sebagai Ketua Forum Da’wah Indonesia, peneliti di
Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum (LKFKH) al-Khairat, dan juga
sebagai salah satu pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.
Dalam
bidang akademis, sebagai bentuk pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan,
Hidayat Nur Wahid juga melibatkan diri mengajar di sejumlah Perguruan
Tinggi. Ia menjadi dosen pada Program Pasca Sarjana Magister Studi
Islam, dan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas
Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid juga menjabat sebagai dosen
pasca sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen
pasca sarjana di Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena
perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya
mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik,
Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan
politik,[8] untuk memimpin demonstrasi terbesar di Indonesia yang
tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA)
pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke
Irak.
Sebelumnya Pada tahun 2000, atas permintaan dari Nurchalish
Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula
menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai
(FID), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para aktivis, akademisi, dan
tokoh lintas agama seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Frans
Magnes Suseno, Bara Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan
Mar’ie Muhamad.
Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat
disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini
disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi
pada waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal,
di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan
Filipina. Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan
pembunuhan tersebut dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia.
Lebih jauh ia khawatir memang ada skenario pihak-pihak tertentu yang
ingin mengail di air keruh agar terjadi konflik horizontal tersebut.
Sebagai
seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga
didasari oleh perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam
surah al-Ma’idah/5:2 yakni “wa ta‘awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wa la
ta‘awanu ‘ala al-itsmi wa al‘-udwan” (“dan tolong-menolongah kamu dalam
kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan
pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan
bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya
sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh
bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.
Dalam konteks
politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia
menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000,
menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus
berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas
jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang
melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah
terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.
Sebelum menjabat
sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal
Gerakan Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid
dikenal sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan
pada 20 Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi
presiden partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum
tepat.
Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang
sangat segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah
partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari
kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi
Azra membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif.[11] Padahal
tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai
politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan
partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik
harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan
apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu.
Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS
Anis Matta,
“Kalau basis organisasi bersifat elitis-eksklusif,
maka basis sosial bersifat massif dan terbuka. Kalau basis organisasi
berorientasi pada kualitas, maka basis sosial berorientasi kuantitas.
Kalau organisasi meretas jalan, maka masyarakatlah yang akan melaluinya.
Kalau para pemimpin melihat ke depan dengan pikiran-pikirannya yang
jauh, maka massa menjangkau ke depan dengan tangan-tangannya yang
banyak. Kalau pemimpin yang hebat mendapatkan dukungan publik yang luas,
maka akan terbentuklah sebuah kekuatan dakwah yang dahsyat…begitulah
menciptakan sinergi antara kualitas dengan kuantitas, keduanya mempunyai
peran yang sama srategisnya.”
Keharusan melebarkan “sayap” pada
segmentasi yang lebih luas ini pun disadari oleh Hidayat Nur Wahid.
Dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan,
Hidayat menyatakan bahwa jabatan itu sejatinya merupakan amanah yang
tidak ringan. Hidayat Nur Wahid kemudian merinci tantangan-tantangan
yang akan dihadapi partainya tersebut,
Pertama, masalah pencitraan
partai yang sebagaimana diulas diatas, masih terbatas pada segmen
tertentu. Menurut Hidayat, Meskipun citra ini positif karena memperjelas
segmentasi pendukung, namun dalam konteks dakwah hal ini menjadi tidak
tepat karena dasar dakwah adalah seruan pada seluruh segmen masyarakat
apapun kondisinya. Menurut Hidayat, pencitraan tadi akan menghambat
pelebaran dakwah karena nilai-nilai dakwah Partai Keadilan akan
terkungkung pada segmen-segmen yang terbatas.
Kedua, faktor
konsolidasi internal. Konsolidasi internal harus terus mengalami
penguatan meskipun dalam tubuh PK sudah cukup solid.
Ketiga,
adalah faktor komunikasi dan sosialisasi massa. Hidayat Nur Wahid
berpandangan bahwa untuk meyakinkan masyarakat bahwa Partai Keadilan
tidak mengalami stagnasi setelah ditinggal oleh Nur Mahmudi, maka
jalinan komunikasi dengan media massa dan kalangan yang memiliki akses
massa harus lebih mengalami peningkatan. Hidayat Nur Wahid paham bahwa
peran media massa sangat besar dalam pembentukan opini yang menentukan
aspirasi politik publik.
Keempat, Partai Keadilan harus dapat
memenuhi pandangan masyarakat yang menuntut bahwa Partai Keadilan
haruslah menjadi partai besar. Sehingga pengkaderan harus dilakukan
secara massif dan terus menerus dengan target dominannya nilai-nilai
dakwah di masyarakat.
Kelima, adalah masalah finansial,
bagaimanapun Hidayat memahami bahwa kegiatan partai adalah kegiatan yang
bersifat massal dan harus terprogram secara professional, sehingga
diperlukan adanya terobosan agar kebutuhan finansial partai dapat
terpenuhi secara mandiri.
Pada tahun 2003, Hidayat Nur Wahid
kemudian memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebetulnya
merupakan metamorfosa dari Partai Keadilan. Di bawah kepemimpinannya,
meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, Partai Keadilan
Sejahtera berhasil melipatgandakan suaranya pada Pemilu 2004 sebesar
600%. Partai Keadilan yang pada Pemilu 1999 hanya memperoleh 1,4% suara
nasional, meraih 7,34% pada pemilu 2004. Untuk partai yang baru
dideklarasikan pada tahun 2003, perolehan tersebut merupakan sebuah
prestasi yang menurut Saiful Mujani,[14] amat mengesankan. PKS bahkan
mampu mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai yang lebih awal
berdiri, dan dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais.
Lompatan
suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan Hidayat Nur Wahid menjadi
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah mengalahkan Sucipto dengan
selisih hanya dua suara dalam pemilihan yang berlangsung secara
demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR tanggal 6 Oktober 2004. Setelah
memimpin MPR itulah nama Hidayat Nur Wahid dikenal luas sebagai tokoh
yang sederhana dan sebagai ikon anti KKN.
Menurut Azyumardi Azra
fenomena kemunculan Hidayat Nur Wahid dan semua kiprah PKS diatas
merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai mainstreaming of Islamic
politics, pengarusutamaan politik Islam, sebagaimana dipahami dan
ditampilkan PKS.
Dalam pengarusutamaan ini Hidayat Nur Wahid
semakin ke tengah. Ia tidak lagi terpingir dan terpencil dari hiruk
pikuk politik yang berlangsung. Sebaliknya, ia menjadi aktor dan pelaku
yang cukup menentukan.
Hidayat Nur Wahid memang tidak menghasilkan
banyak karya tulis, namun aktivitas sosial dan terutama politiknya yang
mencerminkan ketinggian moral, telah menuai banyak simpati dan pujian.
Pages
Blog Archive
Powered by Blogger.
Translate
Popular Posts
-
Nama Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka kembali mencuat, kali ini karena tersiar kabar kejelasan kematiannya karena ditembak mati di Desa Selo ...
-
Sejarah bangsa Indonesia merupakan sejarah gerakan anak-anak muda. Mulai dari dicetuskannya Sumpah Pemuda yang mampu membuat perlawanan d...
-
Pemerintah tetap berkeras hati untuk melaksanakan Ujian Nasional, meski penolakan Ujian Nasional telah dikumandangkan oleh berbagai pihak....
-
Bagaimana Lembaga itu Terbentuk --Para pemimpin Koalisi 17 Februari, gerakan oposisi berbasis di Benghazi terbentuk ketika timbul pemberonta...
-
Sebelum membahas pengertian advokasi yang berlaku secara umum dan advokasi menurut IRM, maka ada baiknya kita mengurai dulu keterkaitan an...
-
KETIKA dunia kerja tidak lagi hanya menuntut kemampuan intelektual tapi juga profesionalitas yang dibuktikan dengan pengalaman, maka sebag...
-
Dalam dunia kemahasiswaan, kita mengenal adanya istilah “mahasiswa apatis”. Memang belum ada definisi yang jelas, ketat, dan menyeluruh te...
-
Lemahnya Indonesia yang "kaya" akan kekayaan alamnya menjadi "mandul" tak bisa apa-apa, ini semua dimulai dan diawali ...
-
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan uma...
-
Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon D...
About Me
- Abd. Hafidz AR
- Pekanbaru, Riau, Indonesia
- Menteri Kebudayaan dan Kreativitas Mahasiswa BEM UNRI Ketua Bidang Advokasi PW IPM Riau Student In International Relational Riau University
Followers
Blogger news
Blogroll
Blogger templates
Saturday 29 June 2013
Biografi Hidayat Nurwahid
Posted by Abd. Hafidz AR at 19:07
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
- Peresmian (1)
0 comments:
Post a Comment