Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk
tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan
umat (ri’ayatu syuunil ummah), dalam dan luar negeri. Pelaksana
praktisnya adalah daulah (negara). Sedangkan umat melakukan muhasabah
(kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah (khalifah). Politik dalam
negeri dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan
melaksanakan mabda (aqidah dan peraturan-peraturan) Islam di dalam
negeri. Politik luar negeri dilakukan daulah untuk memelihara urusan
umat di luar negeri dengan menjalin hubungan internasional dan
menyebarkan mabda Islam ke seluruh dunia (lihat Mafahim Siyasiyah
lihizbi Tahrir, An Nabhani hal. 1).
Umat Islam wajib menyibukkan
diri dalam menggeluti masalah-masalah politik internasional maupun
regional sehingga paham akan fakta politik yang sedang terjadi dan mampu
mengambil sikap berdasarkan mabda Islam, untuk memelihara kepentingan
umat dan daulah baik di dalam maupun di luar negeri. Rasulullah saw
bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan
urusan (kepentingan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan
mereka (kaum muslimin)”
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan hadits dari
Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy di Mekkah
mendebat kaum muslimin dalam konfrontasi mereka dengan mengemukakan
kasus kekalahan Rum (ahli Kitab) atas Persia (Majusi musyrik). Mereka
mengatakan, “Kalian mengklaim bahwa kalian akan mengalahkan kami dengan
kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Mengapa orang-orang Majusi
mengalahkan orang-orang Rum padahal orang Rum itu ahli kitab. Jadi kami
akan mengalahkan kalian sebagaimana Persia mengalahkan Romawi.” Lalu
Allah menurunkan ayat: “Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di
negeri yang terdekat. Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang
dalam beberapa tahun lagi…” (QS. Ar Rum 1-4). Hal ini menunjukkan bahwa
kaum muslimin di Mekkah selalu terlibat dalam “perang urat syaraf”
dengan kaum kafir Quraisy dalam membahas perkembangan hubungan
internasional.
Dalam menggeluti politik dalam negeri, kaum
muslimin wajib selalu memperhatikan pelaksanaan pemerintahan kaum
muslimin dan meluruskannya jika terjadi penyimpangan. Dalam suatu hadits
Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang melihat penguasa yang zhalim
dengan menghalalkan apa yang diharamkan Allah, mengingkari janji Allah,
menyalahi sunnah Rasul, memperkosa hak-hak hamba Allah, lalu tidak
mengubahnya dengan perkataan ataupun perbuatan, maka pasti Allah akan
menempatkannya di tempat penguasa zhalim itu (di akhirat)” (HR. Ibnu
Katsir, lihat, Abdul Aziz Al Badri, Ulama dan Penguasa, hal 45).
Islam
mewajibkan berdirinya partai politik yang berjuang untuk Islam dengan
tugas menyebarkan dakwah Islam kepada orang-orang kafir di seluruh dunia
dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, termasuk kepada penguasa.
Firman Allah SWT.:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada al khair (dinul Islam) menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar” (QS. Ali Imran 104).
Berbeda
dengan sistem demokrasi, khususnya demokrasi liberal, dalam Islam tak
ada parpol pemerintah (penguasa) dan parpol oposisi. Dalam Islam,
kekuasaan itu terletak di satu tangan, yaitu kepala negara atau
khalifah. Khalifah, sebagai penguasa tunggal, berhak mengangkat
perangkat negara untuk menjalankan pemerintahan. Jadi dalam Islam, para
politikus yang aktif dalam partai politik tidak berarti terlibat dalam
kekuasaan (walau ini bisa menjadi tangga menuju jenjang kekuasaan
apabila dipilih menjadi khalifah atau diangkat menjadi pejabat). Namun
para politikus punya tugas besar bersama partainya, yaitu amar ma’ruf
nahi mungkar termasuk muhasabah kepada penguasa agar urusan kepentingan
umat tetap terpelihara.
Muhasabah Kepada Penguasa
Dalam
Islam penguasa (khalifah) bukanlah orang yang istimewa, tapi pelayan
umat yang melaksanakan hukum dan memberi peringatan. Umat berkewajiban
melakukan muhasabah kepada penguasa, apabila dia menyimpang dari
ketentuan syari’at Islam (Abdul Aziz Al Badri, Ulama dan Penguasa, hal.
45).
Setelah dibai’at menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq ra. berpidato:
“Hai
saudara-saudara! Kalian telah membai’at saya sebagai khalifah.
Sesungguhnya saya tidaklah lebih baik dari kalian. Oleh karenanya, bila
saya berbuat baik, tolonglah dan bantulah saya dalam kebaikan itu.
Tetapi bila saya berbuat salah, tegurlah saya. Taatlah kalian kepada
saya selama saya taat kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kalian
mentaati saya bila saya berbuat maksiat terhadap Allah dan RasulNya.”
Khalifah
Umar ra. pernah ditegur oleh seorang wanita tatkala beliau membatasi
pemberian mahar atau mas kawin. Wanita itu membacakan firman Allah:»”Dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedangkan
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun” (QS. An Nisaa:
20). Mendengar teguran itu, Umar berkata: “Benarlah wanita itu dan
sayalah yang keliru”.
Suatu hari tatkala khalifah Muawiyah memulai
pidatonya, Abu Muslim Al Khaulani, berdiri dan mengatakan tidak mau
mendengar dan mentaati khalifah. Ketika ditanya alasannya ia menjawab,
“Karena engkau (khalifah) telah berani memutuskan bantuan kepada kaum
muslimin dari baitul mal. Padahal harta itu bukan hasil keringat- mu dan
bukan harta ayah ibumu”. Mendengar itu Muawiyah sangat marah, lalu
turun mimbar, pergi, dan sejenak kemudian kembali dengan wajah yang
masih basah. Ia membenarkan perkataan Abu Muslim dan mempersilakan siapa
saja yang merasa dirugikan mengambil bantuan dari baitul mal.
Masih
banyak cerita tentang muhasabah yang dilakukan ulama kepada penguasa di
masa khilafah Islamiyah dengan berbagai resiko yang mereka hadapi.
Namun, berbeda dengan sistem demokrasi, muhasabah yang dilakukan ulama
kepada penguasa bukan untuk menjungkirkan pemerintahan khalifah atau
menurunkan reputasinya. Dalam Islam tidak dikenal mosi tidak percaya
kepada khalifah, sehingga khalifah harus mundur. Oleh karena itu,
Muawiyah membiarkan siapa saja yang berkata apa saja tentang dirinya
selama tidak mengganggu pemerintahannya. Bahkan Abu Dzar Al Ghifari
mencela delegasi dari Kufah yang mengajaknya memberontak kepada khalifah
Utsman dengan mengatakan kalaupun Utsman menyalibnya, dia akan tetap
mendengar dan taat kepada khalifah. Hanya satu kondisi umat boleh
mengangkat senjata terhadap khalifah yaitu bila terjadi kekufuran yang
nyata (lihat Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukm fil Islam, hal 244).
Tugas dan Tanggung jawab Ulama Hari Ini
Ulama punya tanggung jawab yang besar terhadap umat disamping tugas mulianya, muhasabah terhadap penguasa, yaitu:
Pertama,
ulama harus membangun kesadaran politik umat (wa’ie siyasi), yaitu
kesadaran umat tentang cara pemeliharaan urusannya. Untuk itu, umat
harus memiliki unsur penting.yakni berprinsip memecahkan permasalahannya
dengan ide atau mabda yang dimilikinya. Sebagai muslim kita memahami
persoalan, dan kita menyelesaikannya dengan Islam yang menjelaskan
pemecahan segala permasalahan manusia (QS. An Nahl 89) dengan metode
yang dicontohkan Nabi saw. (QS. Al Ahzab: 21). Kesadaran seperti itulah
yang harus dibangun ulama. Kalau tidak, kasadaran politik umat akan
dibangun oleh orang lain yang pada gilirannya justru akan menyulitkan
umat itu sendiri.
Kedua, ulama harus menggalakkan
pengajian-pengajian fiqh, tidak hanya sekitar thaharah, shalat, shaum,
dan haji, tapi juga fiqh yang menjelaskan permasalahan politik,
kenegaraan, perundang-undangan, hukum-hukum pidana dan perdata, hubungan
internasional, ekonomi, sosial, dan pendidikan dengan merujuk kepada
induk kitab-kitab fiqih yang mu’tabarah. Sehingga pandangan umat
terhadap agamanya sendiri semakin jelas dan umat pun tidak salah paham
terhadap fiqih Islam ( lihat An Nabhaani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah,
Juz II/7). Sehingga setiap tabligh tidak hanya diisi dengan pesan-pesan
moral yang menjenuhkan atau bahkan diisi dengan humor dan kata-kata
yang tidak pantas untuk dikatakan hanya untuk menghindari kejenuhan
jamaah. Wajib diingat para ulama bahwa Islam bukanlah tontonan, tapi
tuntunan.
Ketiga, hendaknya ulama tidak hanya “bersembunyi” di
dalam pesantren dan berkutat dengan kitab kuning yang dikarang ulama di
zaman kemunduran Islam, disamping sesekali mengisi ceramah pada hari
besar Islam. Namun, selain mengkaji kitab-kitab fiqih Islam — terutama
kitab-kitab induk yang dikarang para ulama besar di masa kejayaan Islam —
dan selalu berusaha mengaktualisasikannya, ulama harus memanfaatkan
segala sarana dan kesempatan yang dimiliki untuk menjelaskan kepada
umat, para pejabat, konglomerat, intelektual, ekonom, dan politikus
pandangan Islam tentang berbagai persoalan yang sedang berkembang.
Dengan demikian peran ulama yang diharapkan Basofi Sudirman untuk
membekali seluruh lapisan masyarakat –termasuk politisi — dengan
kekuatan iman (Republika, 4/7/’94) akan bisa terwujud. Disamping itu,
umat tidak akan mudah terkecoh oleh arus globalisasi yang mengatas
namakan modernisasi, demokrasi, kebebasan, dan hak asasi.
Itulah
tugas dan tanggung jawab yang harus diemban para ulama waratsatul anbiya
hari ini. Tugas berat beresiko besar. Namun menjanjikan pahala besar.
Masyarakat akan diselamatkan dari kehancurannya dan akan menuju
masyarakat yang sehat dunia akhirat. Sebaliknya, jika ulama tidak
memikul beban tugasnya, atau bahkan ikut berpesta pora dengan kekuasaan
yang berlumur kebatilan, kerusakan dan kehancuran masyarakat takkan
terelakkan. Rasulullah saw. bersabda: “Dua macam golongan manusia yang
apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tapi apabila
keduanya rusak, maka akan rusaklah masyarakat. Kedua golongan itu adalah
ulama dan penguasa ” (HR. Abu Nu’aim).
Partai Politik Dalam Islam
Secara
umum pengertian “partai” adalah sekumpulan orang yang terikat satu sama
lain oleh sebuah ideologi dan aturan tertentu untuk meraih
tujuan-tujuan tertentu yang akan dicapainya. Artinya, ideologi yang
mendasari keberadaan dan gerak serta peran partai itulah yang akan
menentukan jenis dan warna partai tersebut dalam sebuah masyarakat.
Karenanya, ketika berbincang tentang partai politik Islam maka partai
tersebut berarti menjadikan Islam sebagai landasan pembangun dan
landasan gerak langkah serta landasan penentuan tujuan-tujuannya.
Adapun
pengertian politik menurut Islam adalah pengaturan urusan/kepentingan
rakyat di dalam dan di luar negeri. Secara praktis, pelaku sistem
politik Islam adalah negara sedangkan aktivitas politik negara di dalam
negeri adalah upaya penerapan hukum-hukum Islam atas seluruh warga
negara. Sedangkan aktivitas politik luar negeri adalah upaya penyebaran
Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam melaksanakan aktivitas politik
penguasa mendapat pengawasan dari seluruh rakyat; baik sebagai individu
maupun dalam wujud sebuah kelompok atau partai.
Islam sebagai
sebuah pandangan hidup yang menyeluruh telah mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia; baik sebagai pribadi, keluarga, jamaah (kelompok) dan
masyarakat. Peran dan posisi bagian masyarakat dalam Islam telah
ditentukan dengan rinci dan tegas. Termasuk dalam hal ini keberadaan
partai politik.
Dengan memahami seluruh pengertian tadi, maka
partai politik Islam merupakan partai yang melaksanakan berbagai tugas
yang dibebankan Islam kepada mereka. Tugas tersebut adalah tugas amar
ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi/meluruskan tingkah laku pemerintah dan
aparatnya. Dengan kata lain, pengertian partai politik dalam konteks
kehidupan Islam adalah sekumpulan orang yang membentuk suatu kelompok
atau jamaah (partai) yang berdiri atas dasar ideologi Islam dengan
aktivitas dakwah kepada al khoir (Islam) dan aktivitas amar ma’ruf nahi
munkar. Keberadaan dan peran partai politik itu sendiri beserta tugasnya
bertolak dari seruan Allah SWT:
“(Dan) Hendaklah ada diantara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih
kebaikan, yaitu memeluk Islam) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (yang akan masuk
surga).” (QS. Ali Imran:104).
Syekh An-Nabhaniy dalam kitab
Muqaddimmah Dustur memberikan penjelasan tentang ayat di atas bahwa
Allah SWT sungguh telah memerintahkan kaum muslimin untuk membentuk
kelompok/jamaah/ partai yang melakukan tugas untuk mengemban dakwah
kepada al khair (Al-Islam) serta melakukan aktivias amar ma’ruf nahi
munkar.
Kata umat pada ayat di atas adalah bermakna untuk jamaah
yang khusus (tertentu) bukan jamaah secara umum. Manusia atau kaum
muslimin sendiri sudah berarti sebuah jamaah. Kata “Umat” pada ayat
tersebut lebih khusus dari jama’ah (umat Islam sebagai jamaah). Ia
merupakan jama’ah yang terbentuk dari individu-individu yang memiliki
ikatan yang menyatukan mereka, dimana dengan ikatan tersebut mereka
menjadi sebuah kelompok yang bersatu dan sebagai satu kesatuan, dan
mereka tetap seperti itu. (Lihat An-Nabahaniy dalam Muqaddimmah Dustur
hal: 98 ).
Adapun dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, maka harus
dipahami bahwa perintah ini bersifat umum, yaitu beramar ma’ruf nahi
munkar kepada semua golongan manusia. Hanya saja, beramar ma’ruf nahi
munkar kepada para penguasa merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang
sangat diutamakan dibanding kepada yang lainnya. Karena selain
pemerintah merupakan pelaksana praktis kebijakan politik dalam negeri
dan luar negeri, namun pemerintah juga sangat menentukan segala hal yang
berlaku di masyarakat. Karenanya, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar dan
mengoreksi (muhasabah) kepada penguasa merupakan aktivitas yang lebih
utama dibanding aktivitas amar ma’ruf kepada yang lainnya. Harus juga
dipahami, karena aktivitas pemerintah adalah aktivitas politik, maka
jamaah/partai yang akan menasehati dan mengoreksi pemerintah haruslah
memahami dan senantiasa bergelut dengan aktivitas politik. Di sinilah
posisi dan peran pokok sebuah partai politik Islam.
Pengertian ini
juga dipakai oleh Muhammad Abduh dalam tafsirnya Al-Manar mengenai QS
Ali Imran: 104. Beliau menyatakan dalam tafsirnya tentang ayat ini
sebagai berikut: “Dan yang diseru dengan perintah ini adalah jamaah
orang-orang mukmin secara keseluruhan. Mereka adalah orang-orang yang
terbebani kewajiban untuk memilih umat yang akan melakukan kewajiban
ini. Di sini ada dua hal, salah satunya wajib bagi semua kaum muslimin.
Yang kedua bagi umat (kelompok) yang mereka pilih untuk berdakwah. Makna
ini tidak bisa dipahami dengan tepat kecuali dengan memahami kata umat.
Makna umat tersebut bukan jama’ah sebagaimana yang banyak disangka
orang. Umat tersebut adalah lebih khusus ketimbang jama’ah. Maka umat
dalam hal ini merupakan jama’ah yang khusus dibentuk dari
individu-individu yang mereka memiliki hubungan yang dapat menyatukan
mereka dan merupakan kesatuan yang menyatukan mereka sebagai anggota
dalam sebuah bangunan manusia.” (Lihat Haditsushiyaam, hal; 10-13).
Sedang
Abdul Qaddim Zallum dalam kitab Ta’rif mengomentari bahwa bentuk
perintah untuk membentuk jama’ah terpadu (partai politik) dalam ayat di
atas memang sekedar menunjukkan adanya thalab/ajakan (dari Allah). Namun
demikian, terdapat banyak qarinah (indikasi) lain yang menunjukkan
bahwa ajakan tersebut adalah suatu keharusan (wajib). Sehingga kegiatan
yang telah ditentukan oleh ayat tadi dilaksanakan oleh kelompok terpadu
tersebut, yakni dakwah kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya
wajib atas seluruh kaum muslimin. Salah satu qarinah tersebut adalah
hadist Rosulullah SAW:
“Demi Dzat yang diriku berada di tanganNya,
sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu) melakukan amar ma’ruf dan
nahi munkar, ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisiNya yang
akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdo’a, maka (do’a
itu) tidak akan dikabulkan.” (Sunan Tirmidzi No.2259).
Jelaslah bagi kita tentang wajibnya keberadaan partai politik yang bekerja untuk Islam, yaitu dengan syarat:
1.
Partai itu harus dari kalangan (beranggotakan) kaum muslimin saja.
Dipahami dari lafadz (minkum) yaitu sebagian dari kalian (kaum muslimin)
pada ayat tadi.
2. Partai Islam haruslah menjadikan aqidah Islam
sebagai dasar keberadaannya dan menjadikan syariat Islam sebagai pangkal
tolak dari hukum yang dijadikan pegangannnya.
3. Partai itu
beraktivitas mengajak kepada kebaikan. (yad’una ilal Khair). Dalam
tafsir Jalalain “mengajak kepada al khoir” berarti mengajak kepada dinul
Islam.
4. Partai ini harus beraktivitas menyeru kepada yang
ma’ruf (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah
pelanggaran terhadap syariat). Bahkan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar
inilah bagian terpenting dari keberadaan partai politik tersebut dalam
masyarakat Islam, yaitu mengawasi para penguasa (‘muhasabah lil Hukam’)
serta menyampaikan nasehat kepadanya apabila dalam aktivitas
pemerintahannya terdapat penyimpangan dan penyelewengan terhadap syariat
Islam (misalnya bersikap zhalim, fasik dan lain-lain). Dan semua ini
merupakan kegiatan politik bahkan bagian yang teramat penting dan
menjadi ciri utama dari kegiatan partai-partai politik dalam Islam.
Wajib Mengoreksi Penguasa
Secara
lebih khusus, partai politik dalam masyarakat Islam didirikan oleh kaum
muslimin sebagai perwujudan hak mereka dengan tujuan utama mengoreksi
para penguasa dan juga sebagai sarana untuk mendidik umat sehingga mampu
menjadi penguasa (Lihat An-Nabhaniy, Muqaddimah Dustur). Dengan
demikian aktivitas mengoreksi penguasa dan menasehatinya adalah
aktivitas yang vital bagi sebuah partai politik. Bahkan dalam hal ini
Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan muhasabah
kepada penguasa, yaitu sewaktu penguasa telah mengingkari
kewajiban-kewajiban mereka kepada rakyat dalam hal pemeliharaan urusan
rakyat, seperti jaminan kebutuhan dasar, jaminan sosial, dan sebagainya.
Atau sewaktu penguasa mengambil hak-hak rakyat seperti hak rakyat dari
harta pemilikan umum — barang tambang, laut dan sebaginya — dan apabila
penguasa mulai menyimpang dari hukum-hukum syara sewaktu menjalankan
roda pemerintahan (Nizhomul hukmi fil Islam, An-Nabhaniy, hal. 241).
Kewajiban muhasabah kepada penguasa ini demikian jelas dikarenakan
sekian ayat (QS : Ali Imran : 104, At-Taubah: 71, Al-Anfaal : 25) dan
sekian hadits telah memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar. Bahkan aktivitas ini dihubungkan dengan kadar
keimanan seseorang sebagaimana sabda Rasululllah Saw. :
“Barang
siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran didepan matanya maka
rubahlah dengan tangan nya (kekuasaan). Apabila dia tidak mampu maka
rubahlah dengan lisannya. Apabila dia tidak mampu juga maka rubahlah
dengan hatinya (mengingkari perbuatan tersebut/tidak ridlo dengan
perbuatan itu). Dan yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.”
(Al-Hadist).
Pendirian partai politik dalam masyarakat Islam juga
tidak memerlukan izin. Hal ini dikarenakan umat memahami bahwa
keberadaan partai politik adalah fardhu bagi mereka dan tidak dibatasi
jumlahnya mengingat lafadznya adalah (ummah) yang berarti tidak harus
satu, dua atau hanya tiga saja. Melainkan boleh lebih dari satu. Ini
diperjelas dengan balasan bagi orang-orang yang menggabungkan dirinya
atau membentuk partai politik dengan sebutan “Merekalah orang-orang yang
beruntung”. Ini berarti jamak atau lebih dari satu partai. Hanya saja
seperti yang sudah dijelaskan, hanya partai politik yang bekerja untuk
Islamlah yang dibolehkan berdiri dalam masyarakat Islam. Sedang yang
berdiri dengan aktivitas bukan untuk Islam semisal untuk mengembangkan
paham Komunisme-kapitalisme-fasisme-demokrasi dan rasialisme sudah
barang tentu tidak diperkenankan ada.
Demikianlah uraian ringkas
tentang fakta posisi dan peran partai politik dalam Islam yang
keberadaannya merupakan bagian yang tidak kalah penting dari umat itu
sendiri. Maka aktivitas partai politik (muhasabah lil hukam) bagi kaum
muslimin dimasa kajayaannya sudah merupakan tradisi demi kelangsungan
hidup Islam itu sendiri. Apabila dalam kondisi saat ini kebiasaan dan
tradisi itu hilang tidak lain karena umat belum menyadari pentingnya
semua itu. Insya Allah dengan meningkatnya pemahaman dan kesadaran umat
terhadap ajaran-ajaran Islam, akan mendorong umat untuk bentindak sesuai
dengan aturan syariah termasuk dalam membentuk suatu partai, kelompok
maupun yang lainnya.
Created By : Abdul Hafidz AR
Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP UR
Berdomisili di Pekanbaru
kritik dan saran bisa disampaikan ke :
bmalay48@yahoo.com
Pages
Blog Archive
Powered by Blogger.
Translate
Popular Posts
-
Nama Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka kembali mencuat, kali ini karena tersiar kabar kejelasan kematiannya karena ditembak mati di Desa Selo ...
-
Sejarah bangsa Indonesia merupakan sejarah gerakan anak-anak muda. Mulai dari dicetuskannya Sumpah Pemuda yang mampu membuat perlawanan d...
-
Pemerintah tetap berkeras hati untuk melaksanakan Ujian Nasional, meski penolakan Ujian Nasional telah dikumandangkan oleh berbagai pihak....
-
Bagaimana Lembaga itu Terbentuk --Para pemimpin Koalisi 17 Februari, gerakan oposisi berbasis di Benghazi terbentuk ketika timbul pemberonta...
-
Sebelum membahas pengertian advokasi yang berlaku secara umum dan advokasi menurut IRM, maka ada baiknya kita mengurai dulu keterkaitan an...
-
Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon D...
-
Perkembangan pemikiran Islam berjalan sesuai dengan perkembangan sejarah manusia muslim. Berbagai masalah timbul dan terjadi membutuhkan...
-
Lemahnya Indonesia yang "kaya" akan kekayaan alamnya menjadi "mandul" tak bisa apa-apa, ini semua dimulai dan diawali ...
-
KETIKA dunia kerja tidak lagi hanya menuntut kemampuan intelektual tapi juga profesionalitas yang dibuktikan dengan pengalaman, maka sebag...
-
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan uma...
About Me
- Abd. Hafidz AR
- Pekanbaru, Riau, Indonesia
- Menteri Kebudayaan dan Kreativitas Mahasiswa BEM UNRI Ketua Bidang Advokasi PW IPM Riau Student In International Relational Riau University
Followers
Blogger news
Blogroll
Blogger templates
Saturday 29 June 2013
Konsep Politik dalam Islam
Posted by Abd. Hafidz AR at 19:08
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Labels
- Peresmian (1)
1 comments:
alhamdulillah,,nice reference
Post a Comment