Pages

Saturday 29 June 2013

Konsep Politik dalam Islam


Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat (ri’ayatu syuunil ummah), dalam dan luar negeri. Pelaksana praktisnya adalah daulah (negara). Sedangkan umat melakukan muhasabah (kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah (khalifah). Politik dalam negeri dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda (aqidah dan peraturan-peraturan) Islam di dalam negeri. Politik luar negeri dilakukan daulah untuk memelihara urusan umat di luar negeri dengan menjalin hubungan internasional dan menyebarkan mabda Islam ke seluruh dunia (lihat Mafahim Siyasiyah lihizbi Tahrir, An Nabhani hal. 1).
Umat Islam wajib menyibukkan diri dalam menggeluti masalah-masalah politik internasional maupun regional sehingga paham akan fakta politik yang sedang terjadi dan mampu mengambil sikap berdasarkan mabda Islam, untuk memelihara kepentingan umat dan daulah baik di dalam maupun di luar negeri. Rasulullah saw bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan urusan (kepentingan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)”
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan hadits dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy di Mekkah mendebat kaum muslimin dalam konfrontasi mereka dengan mengemukakan kasus kekalahan Rum (ahli Kitab) atas Persia (Majusi musyrik). Mereka mengatakan, “Kalian mengklaim bahwa kalian akan mengalahkan kami dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Mengapa orang-orang Majusi mengalahkan orang-orang Rum padahal orang Rum itu ahli kitab. Jadi kami akan mengalahkan kalian sebagaimana Persia mengalahkan Romawi.” Lalu Allah menurunkan ayat: “Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat. Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi…” (QS. Ar Rum 1-4). Hal ini menunjukkan bahwa kaum muslimin di Mekkah selalu terlibat dalam “perang urat syaraf” dengan kaum kafir Quraisy dalam membahas perkembangan hubungan internasional.
Dalam menggeluti politik dalam negeri, kaum muslimin wajib selalu memperhatikan pelaksanaan pemerintahan kaum muslimin dan meluruskannya jika terjadi penyimpangan. Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang melihat penguasa yang zhalim dengan menghalalkan apa yang diharamkan Allah, mengingkari janji Allah, menyalahi sunnah Rasul, memperkosa hak-hak hamba Allah, lalu tidak mengubahnya dengan perkataan ataupun perbuatan, maka pasti Allah akan menempatkannya di tempat penguasa zhalim itu (di akhirat)” (HR. Ibnu Katsir, lihat, Abdul Aziz Al Badri, Ulama dan Penguasa, hal 45).
Islam mewajibkan berdirinya partai politik yang berjuang untuk Islam dengan tugas menyebarkan dakwah Islam kepada orang-orang kafir di seluruh dunia dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, termasuk kepada penguasa. Firman Allah SWT.:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al khair (dinul Islam) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar” (QS. Ali Imran 104).
Berbeda dengan sistem demokrasi, khususnya demokrasi liberal, dalam Islam tak ada parpol pemerintah (penguasa) dan parpol oposisi. Dalam Islam, kekuasaan itu terletak di satu tangan, yaitu kepala negara atau khalifah. Khalifah, sebagai penguasa tunggal, berhak mengangkat perangkat negara untuk menjalankan pemerintahan. Jadi dalam Islam, para politikus yang aktif dalam partai politik tidak berarti terlibat dalam kekuasaan (walau ini bisa menjadi tangga menuju jenjang kekuasaan apabila dipilih menjadi khalifah atau diangkat menjadi pejabat). Namun para politikus punya tugas besar bersama partainya, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar termasuk muhasabah kepada penguasa agar urusan kepentingan umat tetap terpelihara.
Muhasabah Kepada Penguasa
Dalam Islam penguasa (khalifah) bukanlah orang yang istimewa, tapi pelayan umat yang melaksanakan hukum dan memberi peringatan. Umat berkewajiban melakukan muhasabah kepada penguasa, apabila dia menyimpang dari ketentuan syari’at Islam (Abdul Aziz Al Badri, Ulama dan Penguasa, hal. 45).
Setelah dibai’at menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq ra. berpidato:
“Hai saudara-saudara! Kalian telah membai’at saya sebagai khalifah. Sesungguhnya saya tidaklah lebih baik dari kalian. Oleh karenanya, bila saya berbuat baik, tolonglah dan bantulah saya dalam kebaikan itu. Tetapi bila saya berbuat salah, tegurlah saya. Taatlah kalian kepada saya selama saya taat kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kalian mentaati saya bila saya berbuat maksiat terhadap Allah dan RasulNya.”
Khalifah Umar ra. pernah ditegur oleh seorang wanita tatkala beliau membatasi pemberian mahar atau mas kawin. Wanita itu membacakan firman Allah:»”Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun” (QS. An Nisaa: 20). Mendengar teguran itu, Umar berkata: “Benarlah wanita itu dan sayalah yang keliru”.
Suatu hari tatkala khalifah Muawiyah memulai pidatonya, Abu Muslim Al Khaulani, berdiri dan mengatakan tidak mau mendengar dan mentaati khalifah. Ketika ditanya alasannya ia menjawab, “Karena engkau (khalifah) telah berani memutuskan bantuan kepada kaum muslimin dari baitul mal. Padahal harta itu bukan hasil keringat- mu dan bukan harta ayah ibumu”. Mendengar itu Muawiyah sangat marah, lalu turun mimbar, pergi, dan sejenak kemudian kembali dengan wajah yang masih basah. Ia membenarkan perkataan Abu Muslim dan mempersilakan siapa saja yang merasa dirugikan mengambil bantuan dari baitul mal.
Masih banyak cerita tentang muhasabah yang dilakukan ulama kepada penguasa di masa khilafah Islamiyah dengan berbagai resiko yang mereka hadapi. Namun, berbeda dengan sistem demokrasi, muhasabah yang dilakukan ulama kepada penguasa bukan untuk menjungkirkan pemerintahan khalifah atau menurunkan reputasinya. Dalam Islam tidak dikenal mosi tidak percaya kepada khalifah, sehingga khalifah harus mundur. Oleh karena itu, Muawiyah membiarkan siapa saja yang berkata apa saja tentang dirinya selama tidak mengganggu pemerintahannya. Bahkan Abu Dzar Al Ghifari mencela delegasi dari Kufah yang mengajaknya memberontak kepada khalifah Utsman dengan mengatakan kalaupun Utsman menyalibnya, dia akan tetap mendengar dan taat kepada khalifah. Hanya satu kondisi umat boleh mengangkat senjata terhadap khalifah yaitu bila terjadi kekufuran yang nyata (lihat Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukm fil Islam, hal 244).
Tugas dan Tanggung jawab Ulama Hari Ini
Ulama punya tanggung jawab yang besar terhadap umat disamping tugas mulianya, muhasabah terhadap penguasa, yaitu:
Pertama, ulama harus membangun kesadaran politik umat (wa’ie siyasi), yaitu kesadaran umat tentang cara pemeliharaan urusannya. Untuk itu, umat harus memiliki unsur penting.yakni berprinsip memecahkan permasalahannya dengan ide atau mabda yang dimilikinya. Sebagai muslim kita memahami persoalan, dan kita menyelesaikannya dengan Islam yang menjelaskan pemecahan segala permasalahan manusia (QS. An Nahl 89) dengan metode yang dicontohkan Nabi saw. (QS. Al Ahzab: 21). Kesadaran seperti itulah yang harus dibangun ulama. Kalau tidak, kasadaran politik umat akan dibangun oleh orang lain yang pada gilirannya justru akan menyulitkan umat itu sendiri.
Kedua, ulama harus menggalakkan pengajian-pengajian fiqh, tidak hanya sekitar thaharah, shalat, shaum, dan haji, tapi juga fiqh yang menjelaskan permasalahan politik, kenegaraan, perundang-undangan, hukum-hukum pidana dan perdata, hubungan internasional, ekonomi, sosial, dan pendidikan dengan merujuk kepada induk kitab-kitab fiqih yang mu’tabarah. Sehingga pandangan umat terhadap agamanya sendiri semakin jelas dan umat pun tidak salah paham terhadap fiqih Islam ( lihat An Nabhaani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II/7). Sehingga setiap tabligh tidak hanya diisi dengan pesan-pesan moral yang menjenuhkan atau bahkan diisi dengan humor dan kata-kata yang tidak pantas untuk dikatakan hanya untuk menghindari kejenuhan jamaah. Wajib diingat para ulama bahwa Islam bukanlah tontonan, tapi tuntunan.
Ketiga, hendaknya ulama tidak hanya “bersembunyi” di dalam pesantren dan berkutat dengan kitab kuning yang dikarang ulama di zaman kemunduran Islam, disamping sesekali mengisi ceramah pada hari besar Islam. Namun, selain mengkaji kitab-kitab fiqih Islam — terutama kitab-kitab induk yang dikarang para ulama besar di masa kejayaan Islam — dan selalu berusaha mengaktualisasikannya, ulama harus memanfaatkan segala sarana dan kesempatan yang dimiliki untuk menjelaskan kepada umat, para pejabat, konglomerat, intelektual, ekonom, dan politikus pandangan Islam tentang berbagai persoalan yang sedang berkembang. Dengan demikian peran ulama yang diharapkan Basofi Sudirman untuk membekali seluruh lapisan masyarakat –termasuk politisi — dengan kekuatan iman (Republika, 4/7/’94) akan bisa terwujud. Disamping itu, umat tidak akan mudah terkecoh oleh arus globalisasi yang mengatas namakan modernisasi, demokrasi, kebebasan, dan hak asasi.
Itulah tugas dan tanggung jawab yang harus diemban para ulama waratsatul anbiya hari ini. Tugas berat beresiko besar. Namun menjanjikan pahala besar. Masyarakat akan diselamatkan dari kehancurannya dan akan menuju masyarakat yang sehat dunia akhirat. Sebaliknya, jika ulama tidak memikul beban tugasnya, atau bahkan ikut berpesta pora dengan kekuasaan yang berlumur kebatilan, kerusakan dan kehancuran masyarakat takkan terelakkan. Rasulullah saw. bersabda: “Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tapi apabila keduanya rusak, maka akan rusaklah masyarakat. Kedua golongan itu adalah ulama dan penguasa ” (HR. Abu Nu’aim).
Partai Politik Dalam Islam
Secara umum pengertian “partai” adalah sekumpulan orang yang terikat satu sama lain oleh sebuah ideologi dan aturan tertentu untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang akan dicapainya. Artinya, ideologi yang mendasari keberadaan dan gerak serta peran partai itulah yang akan menentukan jenis dan warna partai tersebut dalam sebuah masyarakat. Karenanya, ketika berbincang tentang partai politik Islam maka partai tersebut berarti menjadikan Islam sebagai landasan pembangun dan landasan gerak langkah serta landasan penentuan tujuan-tujuannya.
Adapun pengertian politik menurut Islam adalah pengaturan urusan/kepentingan rakyat di dalam dan di luar negeri. Secara praktis, pelaku sistem politik Islam adalah negara sedangkan aktivitas politik negara di dalam negeri adalah upaya penerapan hukum-hukum Islam atas seluruh warga negara. Sedangkan aktivitas politik luar negeri adalah upaya penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam melaksanakan aktivitas politik penguasa mendapat pengawasan dari seluruh rakyat; baik sebagai individu maupun dalam wujud sebuah kelompok atau partai.
Islam sebagai sebuah pandangan hidup yang menyeluruh telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; baik sebagai pribadi, keluarga, jamaah (kelompok) dan masyarakat. Peran dan posisi bagian masyarakat dalam Islam telah ditentukan dengan rinci dan tegas. Termasuk dalam hal ini keberadaan partai politik.
Dengan memahami seluruh pengertian tadi, maka partai politik Islam merupakan partai yang melaksanakan berbagai tugas yang dibebankan Islam kepada mereka. Tugas tersebut adalah tugas amar ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi/meluruskan tingkah laku pemerintah dan aparatnya. Dengan kata lain, pengertian partai politik dalam konteks kehidupan Islam adalah sekumpulan orang yang membentuk suatu kelompok atau jamaah (partai) yang berdiri atas dasar ideologi Islam dengan aktivitas dakwah kepada al khoir (Islam) dan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Keberadaan dan peran partai politik itu sendiri beserta tugasnya bertolak dari seruan Allah SWT:
“(Dan) Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam) menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (yang akan masuk surga).” (QS. Ali Imran:104).
Syekh An-Nabhaniy dalam kitab Muqaddimmah Dustur memberikan penjelasan tentang ayat di atas bahwa Allah SWT sungguh telah memerintahkan kaum muslimin untuk membentuk kelompok/jamaah/ partai yang melakukan tugas untuk mengemban dakwah kepada al khair (Al-Islam) serta melakukan aktivias amar ma’ruf nahi munkar.
Kata umat pada ayat di atas adalah bermakna untuk jamaah yang khusus (tertentu) bukan jamaah secara umum. Manusia atau kaum muslimin sendiri sudah berarti sebuah jamaah. Kata “Umat” pada ayat tersebut lebih khusus dari jama’ah (umat Islam sebagai jamaah). Ia merupakan jama’ah yang terbentuk dari individu-individu yang memiliki ikatan yang menyatukan mereka, dimana dengan ikatan tersebut mereka menjadi sebuah kelompok yang bersatu dan sebagai satu kesatuan, dan mereka tetap seperti itu. (Lihat An-Nabahaniy dalam Muqaddimmah Dustur hal: 98 ).
Adapun dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, maka harus dipahami bahwa perintah ini bersifat umum, yaitu beramar ma’ruf nahi munkar kepada semua golongan manusia. Hanya saja, beramar ma’ruf nahi munkar kepada para penguasa merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang sangat diutamakan dibanding kepada yang lainnya. Karena selain pemerintah merupakan pelaksana praktis kebijakan politik dalam negeri dan luar negeri, namun pemerintah juga sangat menentukan segala hal yang berlaku di masyarakat. Karenanya, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar dan mengoreksi (muhasabah) kepada penguasa merupakan aktivitas yang lebih utama dibanding aktivitas amar ma’ruf kepada yang lainnya. Harus juga dipahami, karena aktivitas pemerintah adalah aktivitas politik, maka jamaah/partai yang akan menasehati dan mengoreksi pemerintah haruslah memahami dan senantiasa bergelut dengan aktivitas politik. Di sinilah posisi dan peran pokok sebuah partai politik Islam.
Pengertian ini juga dipakai oleh Muhammad Abduh dalam tafsirnya Al-Manar mengenai QS Ali Imran: 104. Beliau menyatakan dalam tafsirnya tentang ayat ini sebagai berikut: “Dan yang diseru dengan perintah ini adalah jamaah orang-orang mukmin secara keseluruhan. Mereka adalah orang-orang yang terbebani kewajiban untuk memilih umat yang akan melakukan kewajiban ini. Di sini ada dua hal, salah satunya wajib bagi semua kaum muslimin. Yang kedua bagi umat (kelompok) yang mereka pilih untuk berdakwah. Makna ini tidak bisa dipahami dengan tepat kecuali dengan memahami kata umat. Makna umat tersebut bukan jama’ah sebagaimana yang banyak disangka orang. Umat tersebut adalah lebih khusus ketimbang jama’ah. Maka umat dalam hal ini merupakan jama’ah yang khusus dibentuk dari individu-individu yang mereka memiliki hubungan yang dapat menyatukan mereka dan merupakan kesatuan yang menyatukan mereka sebagai anggota dalam sebuah bangunan manusia.” (Lihat Haditsushiyaam, hal; 10-13).
Sedang Abdul Qaddim Zallum dalam kitab Ta’rif mengomentari bahwa bentuk perintah untuk membentuk jama’ah terpadu (partai politik) dalam ayat di atas memang sekedar menunjukkan adanya thalab/ajakan (dari Allah). Namun demikian, terdapat banyak qarinah (indikasi) lain yang menunjukkan bahwa ajakan tersebut adalah suatu keharusan (wajib). Sehingga kegiatan yang telah ditentukan oleh ayat tadi dilaksanakan oleh kelompok terpadu tersebut, yakni dakwah kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Salah satu qarinah tersebut adalah hadist Rosulullah SAW:
“Demi Dzat yang diriku berada di tanganNya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu) melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisiNya yang akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdo’a, maka (do’a itu) tidak akan dikabulkan.” (Sunan Tirmidzi No.2259).
Jelaslah bagi kita tentang wajibnya keberadaan partai politik yang bekerja untuk Islam, yaitu dengan syarat:
1. Partai itu harus dari kalangan (beranggotakan) kaum muslimin saja. Dipahami dari lafadz (minkum) yaitu sebagian dari kalian (kaum muslimin) pada ayat tadi.
2. Partai Islam haruslah menjadikan aqidah Islam sebagai dasar keberadaannya dan menjadikan syariat Islam sebagai pangkal tolak dari hukum yang dijadikan pegangannnya.
3. Partai itu beraktivitas mengajak kepada kebaikan. (yad’una ilal Khair). Dalam tafsir Jalalain “mengajak kepada al khoir” berarti mengajak kepada dinul Islam.
4. Partai ini harus beraktivitas menyeru kepada yang ma’ruf (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syariat). Bahkan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar inilah bagian terpenting dari keberadaan partai politik tersebut dalam masyarakat Islam, yaitu mengawasi para penguasa (‘muhasabah lil Hukam’) serta menyampaikan nasehat kepadanya apabila dalam aktivitas pemerintahannya terdapat penyimpangan dan penyelewengan terhadap syariat Islam (misalnya bersikap zhalim, fasik dan lain-lain). Dan semua ini merupakan kegiatan politik bahkan bagian yang teramat penting dan menjadi ciri utama dari kegiatan partai-partai politik dalam Islam.
Wajib Mengoreksi Penguasa
Secara lebih khusus, partai politik dalam masyarakat Islam didirikan oleh kaum muslimin sebagai perwujudan hak mereka dengan tujuan utama mengoreksi para penguasa dan juga sebagai sarana untuk mendidik umat sehingga mampu menjadi penguasa (Lihat An-Nabhaniy, Muqaddimah Dustur). Dengan demikian aktivitas mengoreksi penguasa dan menasehatinya adalah aktivitas yang vital bagi sebuah partai politik. Bahkan dalam hal ini Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan muhasabah kepada penguasa, yaitu sewaktu penguasa telah mengingkari kewajiban-kewajiban mereka kepada rakyat dalam hal pemeliharaan urusan rakyat, seperti jaminan kebutuhan dasar, jaminan sosial, dan sebagainya. Atau sewaktu penguasa mengambil hak-hak rakyat seperti hak rakyat dari harta pemilikan umum — barang tambang, laut dan sebaginya — dan apabila penguasa mulai menyimpang dari hukum-hukum syara sewaktu menjalankan roda pemerintahan (Nizhomul hukmi fil Islam, An-Nabhaniy, hal. 241). Kewajiban muhasabah kepada penguasa ini demikian jelas dikarenakan sekian ayat (QS : Ali Imran : 104, At-Taubah: 71, Al-Anfaal : 25) dan sekian hadits telah memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan aktivitas ini dihubungkan dengan kadar keimanan seseorang sebagaimana sabda Rasululllah Saw. :
“Barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran didepan matanya maka rubahlah dengan tangan nya (kekuasaan). Apabila dia tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya. Apabila dia tidak mampu juga maka rubahlah dengan hatinya (mengingkari perbuatan tersebut/tidak ridlo dengan perbuatan itu). Dan yang demikian adalah selemah-lemahnya iman.” (Al-Hadist).
Pendirian partai politik dalam masyarakat Islam juga tidak memerlukan izin. Hal ini dikarenakan umat memahami bahwa keberadaan partai politik adalah fardhu bagi mereka dan tidak dibatasi jumlahnya mengingat lafadznya adalah (ummah) yang berarti tidak harus satu, dua atau hanya tiga saja. Melainkan boleh lebih dari satu. Ini diperjelas dengan balasan bagi orang-orang yang menggabungkan dirinya atau membentuk partai politik dengan sebutan “Merekalah orang-orang yang beruntung”. Ini berarti jamak atau lebih dari satu partai. Hanya saja seperti yang sudah dijelaskan, hanya partai politik yang bekerja untuk Islamlah yang dibolehkan berdiri dalam masyarakat Islam. Sedang yang berdiri dengan aktivitas bukan untuk Islam semisal untuk mengembangkan paham Komunisme-kapitalisme-fasisme-demokrasi dan rasialisme sudah barang tentu tidak diperkenankan ada.
Demikianlah uraian ringkas tentang fakta posisi dan peran partai politik dalam Islam yang keberadaannya merupakan bagian yang tidak kalah penting dari umat itu sendiri. Maka aktivitas partai politik (muhasabah lil hukam) bagi kaum muslimin dimasa kajayaannya sudah merupakan tradisi demi kelangsungan hidup Islam itu sendiri. Apabila dalam kondisi saat ini kebiasaan dan tradisi itu hilang tidak lain karena umat belum menyadari pentingnya semua itu. Insya Allah dengan meningkatnya pemahaman dan kesadaran umat terhadap ajaran-ajaran Islam, akan mendorong umat untuk bentindak sesuai dengan aturan syariah termasuk dalam membentuk suatu partai, kelompok maupun yang lainnya.
Created By : Abdul Hafidz AR
Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP UR
Berdomisili di Pekanbaru
kritik dan saran bisa disampaikan ke :
bmalay48@yahoo.com

1 comments:

Centra Media said...

alhamdulillah,,nice reference

Labels

ABDUL HAFIDZ, AR | Template by - Abdul Munir - 2008 - layout4all